Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Kenaikan Tarif Pelayanan Publik, Apakah Akan Meletuskan Balon Perekonomian?

Diperbarui: 31 Oktober 2019   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga berjalan di lobi kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Timur, di Jakarta, Rabu (30/10/2019). Presiden Joko Widodo resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja menjadi sebesar Rp42 ribu per bulan untuk kelas III, Rp110 ribu per bulan untuk kelas II dan Rp160 ribu per bulan untuk kelas I. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.(ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Apabila sebuah balon dipencet pada satu sisi, maka udara disekitarnya akan berpindah dan menggelembungkan sisi lainnya. Jika terlalu keras memencet balon, besar kemungkinan keseluruhan benda tersebut akan meletus pecah berserak-serak.

Pada awal tahun 2020 pemerintah akan melakukan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yang ditetapkan rata-rata dua kali lipat atau 100% dari tarif semula. Mengikutinya adalah kemungkinan kenaikan tarif layanan publik lainnya, seperti: kenaikan tarif listrik akibat pengurangan kompensasi, kenaikan tarif tol secara variatif akan dinaikkan mengikuti laju inflasi.

Dan --meskipun tidak termasuk pelayanan publik-- cukai rokok akan naik di kisaran 21,5%.

Dengan adanya kenaikan-kenaikan dimaksud, patut diduga pemerintah akan "memencet balon perekonomian", sehingga kelak orang-orang akan melakukan penyesuaian yang pada gilirannya akan menimbulkan gelembung sekunder di sektor lain.

Kenaikan tarif transportasi, eskalasi harga pangan, pengaruh terhadap harga sandang dan seterusnya yang merupakan dampak berganda dari sebuah kebijakan publik.

Menyitir pendapat Frederick Bastiat, Ekonom Perancis abad 19: suatu efek sekunder utama yang secara tidak langsung ditimbulkan dari inisiasi suatu kebijakan, dan kerap menyebabkan pengaruh dalam waktu tertentu (Prof. DR. Winardi, SE.)

Kenaikan tarif pelayanan publik bisa dianggap sebagai "pencetan" atau tekanan yang akan membebani masyarakat. Ceteris Paribus Condition, di mana semua data mengenai keadaan-keadaan yang tidak disebut secara eksplisit dianggap tidak berubah, di bawah ini digunakan hampiran pendapatan per-kapita dalam memotret dampak kenaikan tarif tersebut terhadap "balon perekonomian".

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia meningkat menjadi US$ 3.927 atau sekitar Rp 56 juta per kapita per tahun di 2018. Angka tersebut naik dibandingkan tahun 2017 Rp 51,9 juta dan 2016 Rp 47,9 juta.

PDB per-kapita --juga mencerminkan pendapatan per-kapita-- selama dua tahun berturut-turut mengalami kenaikan sekitar 8 %. Untuk kenaikan pendapatan per-kapita tahun 2020 diperkirakan kurang lebih sama.

Sementara perkiraan pertumbuhan ekonomi makro Republik Indonesia diperkirakan 6 % pada tahun depan. Mungkin secara individual, biasanya dilakukan cost of living adjustment (cola) sebesar 10%. Secara hitungan optimistik diasumsikan kenaikan pendapatan rata-rata sebesar 10 %.

Dengan mengabaikan faktor lain, seperti kesenjangan ekonomi, percepatan menggali pendapatan negara dari sektor pajak dan lain-lain, kenaikan tarif pelayanan yang menyangkut orang banyak selayaknya dibuat kisaran dibawah 10 %.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline