Jika menyimak pemberitaan media belakangan ini, terbersit di pikiran : " Apa yang masih kita banggakan dari Indonesia ?" Sebut saja kasus korupsi yang seolah tak pernah habis dibongkar. Dalam bidang olahraga, prestasi Indonesia semakin terpuruk saja. Dari kisruh PSSI yang tak berujung selesai sampai prestasi Timnas dibantai Bahrain 10 - 0. Bahkan prestasi bulutangkis yang selama ini selalu kita banggakan turut porak poranda. Prestasi bulutangkis Indonesia di Piala Thomas dan Piala Uber lalu hancur lebur, masuk semi finalpun tidak. Indonesia memang sedang dihantam bertubi persoalan, dari bencana alam, narkoba, penganiayaan TKI, seks bebas, perselingkuhan merajalela, anarkisme yang tak terbendung dan masih banyak lagi.
Hal yang memprihatikan di balik situasi tersebut adalah tidak adanya kepekaan pemimpin untuk merasa bertanggungjawab atas berbagai tragedi tersebut. Pemimpin tidak hadir untuk bertanggungjawab dan melindungi rakyatnya. Tradisi mundur sebagai bentuk rasa tanggungjawab jauh dari kebiasaan. Yang penting sudah dijelaskan, sudah diargumentasikan. Itu sudah cukup.
Dalam situasi tersebut, pikiran saya selalu teringat pada tradisi bangsa Jepang, yang pemimpinnya memiliki tradisi harakiri untuk menunjukkan rasa malu dan rasa bersalah atas kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan. Semua itu didasari rasa malu yang mendalam karena telah mengecewakan masyarakat dan tidak mampu bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan. Di Amerika Serikat pernah kejadian, Presiden Bill Clinton meminta maaf secara terbuka atas perselingkuhan yang dilakukan dengan Monica Lewinski seorang karyawati magang di Gedung Putih. Atas pengakuan dosa yang gentleman tersebut, keluarga dan rakyat Amerika Serikat memaafkan dan memberi kesempatan Clinton melanjutkan tugasnya sebagai Presiden.
Indonesia memang berbeda dengan Jepang. Kita tidak punya tradisi harakiri. Namun nilai-nilai kearifan lokal sebenarnya selalu kita temukan ajaran moral itu. Di Jawa, diajarkan tentang malu yang disebut isin, wirang, sebagai respon moral atas tidakan yang mempermalukan diri sendiri dan keluarga. Entah itu sekedar kesalahan kecil sampai kesalahan besar yang sangat memalukan, selalu ada perasaan malu yang diekspresikan. Mungkin orang kemudian minta maaf atas kesalahan itu. Pada rasa malu yang ekstrim seperti wirang, orang memilih pergi untuk mengucilkan diri, pergi jauh entah keman. Bahkan tidak jarang ada yang sampai bunuh diri.
Kepekaan untuk merasa malu itu nampaknya semakin memudar. Walaupun ditengarai melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan, tak tampak rasa malu itu. Selagi ia masih mampu berdebat dan berargumentasi maka tak perlu merasa malu. Selagi masih bisa menyewa pengacara handal mengapa harus malu ?.
Rasa malu harusnya menjadi salah satu pilar adaptasi moral yang selalu menegur dan mengingatkan orang menegakkan perilaku yang lebih bermoral. Namun nampaknya krisis moral telah menggerus rasa malu itu. Mungkin negeri ini sedang menggelinding ke jurang krisis moral yang dalam. Semoga saja tidak. Karena mestinya masih ada moralitas itu di sanubari setiap pribadi orang Indonesia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H