Lihat ke Halaman Asli

Ritual Ngaji saat Akhir Evaluasi

Diperbarui: 10 Maret 2021   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mengajar dengan metode pembelajaran jarak jauh atau sering dikenal dengan istilah daring merupakan model tersulit dalam pembelajaran selain membutuhkan kuota data dan sinyal juga butuh kecermatan penguasaan teknologi informasi. selain itu proses pengolahan nilai sebagai evaluasi setiap akhir pembelajaran juga tak kalah rumitnya dengan pembelajaran daring sehingga butuh perhatian tersendiri bagi guru. lantas munculah istilah "ngaji" sebagai senjata pamungkas dikalangan guru sebagai jalan keluar mengatasi kebuntuan dalam memproses dan mengolah nilai. cara ini merupakan sataun-satunya cara yang harus digunakan dalam pembelajaran  dan penilaian dari guru ke siswa karena tidak ada pilihan lain

'Ngaji" merupakan akronim dari istilah jawa yaitu ngarang biji atau rekayasa nilai. bagi sebagian guru, jika tidak boleh dikatakan semua bahwa ritual "ngaji" bukan hal yang asing apalagi disaat pandemi seperti ini bagaimana tidak, pimpinan dalam hal ini kepala sekolah sebagai top menejer menuntut agar guru memberikan batas standar minimum nilai kepada siswa. faktanya dilapangan kemampuan setiap indvidu siswa berbeda-beda meskipun ada program remidial dan pengayaan pembelajaran namun tak menjamin siswa lebih baik darii sebelumnya. apalagi jika tugas-tugas yang disampaikan guru hanya sebatas membuat resum, mengulang soal ujian yang sudah dikerjakan dan sejenisnya yang membuat peluang siswa untuk berselancang di internet atau bahkan mencontek berjamaah. justru proses abal-abal inilah yang membuat siswa untuk tidak serius dalam pembelajaran saat ini. mereka justru lebih memilih menunggu kesempatan mengikuti remi demi memperbaiki nilai dariada berjibaku atau berjuang dari awal untuk mendapatkan nilai yang bagus

proses pengolahan nilai yang bersandar pada aspek kognitif, afektif dan psiomotorik. tapi entah mengapa, guru-guru yang senior yang hampir pensiunpun menggangap hal ini masih sulit dilakukan. bahkan perangkat evaluasi mulai dari indikator soal dan norma penilaian dan sebagainya yang disusun nyaris sempurna diawal pembelajaran sepertinya hanya sebaga pelengkap koleksi meja guru. jika sudah demikian kemunculan angka-angka sebagai nilai tidak bisa menggambarkan kompetensi siswa yang objektif dan seutuhnya. tentu saja usur subjektivitas memegang peranan penting untuk memenuhi tuntutan tersebut. unsur-usur tambahan pertimbangan seperti sikap dan karakter keseharian siswa disekolah tidak bisa dipenuhi. subjektivitas dalam ritual "ngaji" sebelum pandemik tidaklah sulit dilakukan bagi guru karena bisa bertatap muka secara langsung dengan siswa.namun disaat pandemi sperti ini ruang gerak guru dan siswa terbatas sehingga pertimbangan dalam penilaian menjadi sangat sulit.

bagu guru "ngaji" di saat pandemi bukan perkara mudah. tugas yang diberikan kepada siswanya hanya sebagai pajangan difitur-fitur media pembelajaran daring. berbagai platform pembelajaran daringpun ditawarkan agar lebih efektif, efisien dan menarik siswa. namun segala cara tersebut lantas tidak menyelesaikan masalah yang harus memenuhi standar minimal pembelajaran. jika ada punishment dan reward untuk siswa  caranya bagaimana dan seperti apa sedangkan antara guru dan siswa tidak pernah saling "bersentuhan" tidak tahu siapa siswanya, bagaimana kondisi serta keadaan siswa. dimana rumahnya  bahkan panggilan orangtuapun cenderung diabaikan. kebijakan kemendikbud dengan jargon merdeka belajar yang di usung melalui keputusan mendikbud  nomer 719/P/2020  yang memberikan peluang kepada pihak sekolah untuk memilih kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah masing-masing juga tidak bisa mengatasi keruwetan dan kerumitan pembelajaran jarak jauh. namun bukan berarti menyerah dengan keadaan. minimal pembelajaran daring bisa efektif tidak terlalu parah penyimpanganya.

solusi detengah pandemi, pembelajaran kolaborasi bisa menjadi jawbanya, dalam proses kolaborasi ini komunikasi dan bekerjasama yang baik dibangun. baik antar guru mapel  maupun siswa dengan kelompok kerjanya agar tidak terjadi kesalah pahaman. ketika satu tahapan terdapat kendala maka setiap bagian harus mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. kesempatan diskusi dan konsultasi terbuka lebar melalui grop daring maupun video conferens. bentuk kreativitas seperti ini yang perlu diasah dan ditingkatkan esistensinya guna meringankan beban siswa dalam menyelesaikan tugas sekaligus meringankan beban guru untuk "ngaji" , sekaligus pemilihan strategi dan penerapan kurikulum yang tepat juga akan meringankan proses "ngaji" guru disaat pandemi.

tentu saja tetap menyelaraskan serta menyeimbangkan kelayakan nilai dengan kompetensi siswa yang senyatanya. terutama untuk siswa SMK yang tidak bisa dikukan secara srampangan dan penilaian melainkan melalui cara-caca yang humanis sebab yang dikedepankan bukan hanya nilai pengetahuan siswa namun lebih pada menitikbertkan pada ketrampilan dan kecakapan siswa sebagai faktor dominan dalam penentuan pembelajaran implementasi pembelajaran kolaboratif dilakukan dengan serius masikah guru perlu "ngaji"?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline