Lihat ke Halaman Asli

budi prakoso

mari jaga kesehatan

Cegah Bibit Intoleransi di Lembaga Pendidikan

Diperbarui: 4 Mei 2024   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toleransi - tempo.co

Tak dipungkiri, bibit intoleransi ada dimana-mana. Bahkan di dalam diri kita sendiri pun, juga terdapat bibit intoleransi. Ibarat mata uang, bibit intoleransi itu merupakan bagian dari sisi negatifnya. Dan menjadi tugas kita semua, untuk bisa mengendalikan agar bibit intoleransi tersebut tidak menjalar kemana-mana. Jika intoleransi terus dipelihara, maka setiap ucapan dan perilaku kita, bisa berpotensi menjadi intoleran.

Begitu juga di setiap lembaga, Kementerian, kantor, pabrik, rumah atau tempat yang lain, juga berpotensi dihinggapi bibit intoleransi. Tak terkecuali lembaga pendidikan. Juga harus bersifat netral dan bebas dari kepentingan apapun. Karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk menjaga agar lembaga pendidikan di Indonesia tetap netral dan bebas dari kepentingan apapun. Termasuk bebas dari segala bentuk bibit intoleransi.

Lalu, bagaimana menjaga agar lembaga pendidikan tetap aman dan nyaman? Tentu bukan perkara yang mudah. Pertama yang harus dilakukan adalah tidak boleh ada diskriminasi di sekolah, apapun itu bentuknya. Karena sekolah adalah untuk seluruh generasi penerus bangsa, apapun agama, suku, bahasa dan budayanya. Apappun latar belakangnya, setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama di sekolah.

Paksaan dalam mengenakan atribut keagamaan, semestinya juga tidak boleh terjadi. Pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, terkait larangan pengekangan pemakaian seragam atau atribut agama tertentu. SKB tersebut ditandatangani oleh Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Ditegaskan bahwa penggunaan seragam dengan atribut keagamaan di sekolah negeri, merupakan keputusan murid dan guru sebagai individu.

Seperti kita ketahui, sempat muncul kasus jilbab ini di beberapa sekolah. Ada sekolah yang melarang pengenaan jilbab, ada juga sekolah yang mewajibkan pengenaan jilbab. Sementara siswinya merasa depresi akibat paksaan tersebut. Sementara dalam agama Islam, tidak pernah mengajarkan pemaksaan dalam bentuk apapun. Penggunaan jilbab memang penting dalam Islam. Tapi Islam mengajarkan bahwa penggunaan jilbab harus didasarkan pada kesadaran dan kemauan penuh bagi orang yang mengenakan, bukan karena dasar paksaan.

Indonesia memang negara yang majemuk. Keragaman suku, agama, bahasa dan budaya, memang sudah tidak bisa dibantah lagi. Namu demikian, kemajemukan ini pada dasarnya merupakan anugerah dan bukan sebuah persoalan. Disinilah pentinya toleransi antar umat beragama. Disinilah pentingnya untuk saling menghargai keberagaman. Berdampingan dalam keberagaman menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dibantah. Karena semboyan bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetap tetap satu, menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia bisa berdampingan dalam keberagaman.

Dan salah satu tempat untuk bisa menghargai keberagaman adalah di lembaga pendidikan. Sekolah atau perguruan tinggi, harus bisa menjadi tempat yang terbuka untuk siapapun. Karena sekolah merupakan hak setiap warga negara. Apapun agama, suku, bahasa dan budaya yang melekat dibelakangnya, berhak mendapatkan pendidikan dan tidak boleh didiskriminasikan. Setiap kebijakan dan aktifitas yang ada di dalam lembaga pendidikan, harus bisa merangkul keberagaman yang menggambarkan Indonesia itu sendiri. Salam persatuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline