Siapa yang sangka media sosial akan berkembang begitu pesat seperti sekarang ini. Dulu media sosial hanya digunakan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi dan menambah pertemanan.
Namun dalam perkembangannya, media sosial banyak digunakan masyarakat untuk melakukan berbagai macam aktifitas. Media sosial sudah menjadi tempat yang ramai dikunjungi para milenial.
Bahkan, dalam perkembangannya, semua kalangan dari anak-anak hingga dewasa banyak yang beraktifitas di media sosial. Karena itulah, semua pihak memanfaatkan media sosial untuk sosialisasi, menyebarkan informasi, mencari dukungan, atau kepentingan apapun.
Semangat yang baik ini, dalam perkembangannya tidak seterusnya baik. Ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan media sosial, untuk menyebarkan kepentingan yang tidak baik. Ujaran kebencian misalnya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, ujaran kebencian di media sosial terus mengalami peningkatan. Tidak hanya itu, berbagai macam aksi kekerasan juga di upload media sosial. Kebebasan berekspresi di media sosial mulai disalahgunakan, menjadi kebebasan untuk melakukan apa saja. Ya, melakukan apa saja. Hampir semua aktifitas ada di media sosial. Tak jarang banyak media sosial yang melakukan take down terhadap konten-konten yang tidak baik.
Dulu, ketika ISIS masih berkuasa di Suriah dan Iraq, aksi pemenggalan kepala seringkali di upload ke media sosial. Sementara, media sosial banyak digunakan anak-anak muda, remaja dan anak-anak untuk menyampaikan ekspresinya. Ketika aksi pemenggalan itu dilihat anak-anak, tentu akan sangat mengerikan dampaknya. Kini, aksi pemenggalan sudah tidak bisa kita lihat.
Tapi aksi kekerasan lain masih saja kita lihat. Korban ledakan bom seringkali juga menghiasi media sosial. Aktifitas sharing sebelum saring masih sering dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Akibatnya, informasi dan peristiwa apapun bisa mudah menyebar.
Belakangan, aksi provokasi dan ujaran kebencian terus menguat ketika memasuki tahun politik. Ujaran kebencian yan berlebihan, bisa memicu terjadinya aksi kekerasan. Aksi kekerasan yang berlebihan juga bisa memicu munculnya perilaku intoleran. Tipikal orang semacam inilah yang dibidik oleh kelompok radikal dan teroris, untuk melakukan aksi radikal ataupun aksi teror. Mereka yang melakukan aksi teror, merupakan korban dari propaganda dan provokasi radikalisme. Dan hampir dari semua pelaku teror, mengenal radikalisme melalui dunia maya dan media sosial.
Lalu, masihkah kita diam jika ada orang yang menebar kebencian, provokasi ataupun teror di media sosial? Apakah kita membiarkan satu per satu dari anak muda kita, meledakkan diri hanya karena terpapar radikalisme dunia maya.
Akankah kita hanya diam? Jika kita merasa bagian dari Indonesia, jangan diam melihat penyebaran radikalisme dunia maya. Jika belum bisa bertindak, setidaknya janganlah upload konten kekerasan, jangan pula menuliskan narasi yang penuh provokasi dan kebencian. Karena dengan mengunggah bibit kebencian dan kekerasan, akan mendekatkan bibit radikal dan intoleransi. Jika radikalisme dan intoleransi mendekat, maka bibit terorisme itu bisa sewaktu-waktu muncul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H