Lihat ke Halaman Asli

budi prakoso

mari jaga kesehatan

Kendalikan Amarah, Belajar Memaafkan Sejak Dini

Diperbarui: 10 Maret 2018   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stop SARA - eksrima.com

Entah sengaja atau tidak, jelang pilkada dan pilpres, masyarakat kita seketika berubah menjadi masyarakat yang mudah tersinggung, mudah membenci, bahkan mudah melakukan persekusi. Praktik ini intensitasnya selalu meningkat jelang pesta demokrasi. Ketika pilkada DKI Jakarta ketika itu, muncul organisasi Saracen, yang menawarkan jasa menyebar bibit kebencian untuk memecah belah suara. Pasangan calon tertentu akan terus dihujani informasi hoax agar elektabilitasnya menurun. Bahkan, tak jarang sentimen agama juga disisipkan, untuk memancing amarah masyarakat.

Jelang pilkada serentak dan pilpres 2019, pola yang sama nampaknya kembali diulangi. Satu persatu ditangkap oleh polisi, karen oknum yang menyebarkan pesan kebencian, hoax, dan provokasi. Bahkan, muncul organisasi bernama Muslim Cyber Army (MCA). Organisasi ini dengan sengaja menebarkan kebencian, membuat informasi menyesatkan, menyebarkan berita penculikan ulama padahal hal tersebut tidak ada. Saling adu domba antar saudara justru dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sungguh sangat ironis.

Pesta demokrasi harusnya diisi perang gagasan, bukan perang kebencian. Pilkada harusnya diisi dengan suka cita, bukan kemarahan yang membabi buta. Jangan pecah belah negeri ini dengan amarah sesaat. Ingat, kita punya sejarah mengenai adu domba ini. Ketika era penjajahan, semangat untuk merdeka sempat surut ketika penjajah memecah belah para pejuang dengan politik adu domba. Beruntung karena kuatnya persatuan dan kesatuan ketika itu, politik adu domba ini tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Sampai akhirnya, kemerdekaan itu bisa kita rebut dan bisa dirasakan oleh anak cucu hingga saat ini.

Beberapa pekan lalu, aksi memburu orang gila marak terjadi diberbagai daerah. Pemicunya adalah para ulama disejumlah daerah mendapatkan penyerangan. Ironisnya, hampir semua pelakunya adalah orang gila. Bagaimana orang gila bisa memilih orang yang akan diserang? Apakah hal ini karena faktor ketidaksengajaan atau justru sebaliknya? 

Dalam waktu yang relatif bersamaan, muncul informasi bahwa dalang semua itu adalah PKI. Penyerangan ulama merupakan indikasi bangkitnya kembali komunisme. Kini, muncul MCA yang terbukti menyebarkan berita mengenai provokasi penyerangan ulama. Mereka sengaja menyebarkan informasi bahwa PKI bangkit lagi, agar menimbulkan amarah masyarakat.

Kenapa ulama yang menjadi sasaran? Apakah hal ini merupakan upaya untuk kembali mengadu domba melalui sentiment agama seperti di pilkada DKI Jakarta? Menjadi tugas kita bersama untuk selalu waspada. Karena jika pilkada hanya digunakan sebagai ajang untuk menggalang permusuhan, tentu akan sangat merugi bangsa ini. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam, berpotensi hancur karena masyarakatnya terus bertikai. Mari belajar memaafkan dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Karena melalui memaafkan, kita akan senantiasa memanusiakan manusia, menjaga tali silaturahmi, dan tetap menjaga toleransi dan kerukunan antar umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline