Dalam sebuah group diskusi di media sosial saya melontarkan pertanyaan kritis kepada teman sesama akademisi di sebuah kampus. Pertanyaan saya adalah dengan "anggaran sekian M, kemana saja pembangunan di kantor ini ?" Tidak ada yang merespon dan terkesan cuek adalah respon mereka. Sangat disayangkan memang bagaimana bisa para akademisi itu cuek seakan-akan itu bukan masalah. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Dan bagaimana merubah kondisi ironis itu ?
Untuk menjawab pertanyaan diatas saya terinpirasi dari aktivitas membaca berapa buku tentang alasan mengapa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam cenderung korup ketimbang negara yang mengandalkan pajak sebagaimana negara-negara skandinavia. Buku pertama yang cukup populer adalah karya Professor Paul Collier "the bottom billions" (2008: 37-32) dari Universitas Oxford. Menurut beliau negara-negara miskin itu umumnya kaya akan sumber daya alam namun cenderung korup. Hal ini diistilahkan dengan jebakan kekayaan sumber daya alam.
Sumber daya alam yang selama ini jadi penopang ekonomi membuat warga negaranya cendrung tidak kritis terhadap prilaku korupsi. Kaya dengan sumber daya alam berarti anggaran dari publik mayoritas berasal dari sektor itu dan minim dari pajak. Akibatnya adalah masyarakat tidak punya keingginan untuk berpartisipasi dalam melakukan kontrol terhadap anggaran karena mereka tidak merasa "diganggu". Namun hal yang berbeda terjadi jika anggaran publik berasal dari pajak, mereka merasa uang mereka diambil atas nama kepentingan umum, oleh sebab itu rasa memiliki atas anggran publik besar. Partisipasi untuk mengontrol anggaran publik pun meningkat. Partisipasi mengontrol anggaran tinggi, korupsipun minim, akibatnya adalah pembangunan jalan dan ekonomipun menjadi maju.
Data Internatioal Transparency Index dari tahun-ketahun menunjukan bahwa negara-negara Skandinavia yang memungut pajak tinggi justru angka korupsinya rendah, dan sebaliknya negara-negara yang bertumpu pada sumber daya alam cenderung angka korupsinya tinggi termasuk di dalam hal ini Nigeria, Rusia dan tentu Indonesia. Karya yang hampir sama dengan tessis diatas misalnya karya Michael L Ross dari university California Los Angels "the oil Curse" (2012). Pada Bab 6 Ross menjelaskan bagaimana minyak malah jadi petaka yakni buruknya institusi akibat korupsi minyak. Negara yang cenderung korup menurut Ross adalah malah negara-negara yang kaya akan sumber daya minyak. Lebih lanjut Ross mengatakan bahwa kaya akan minyak justru membuat negara itu tidak demokratis dan mudah sekali terlibat Civil War seperti yang kita saksikan hari ini di Timur Tengah.
Jika dua buku tadi menjelaskan bagaimana kekayaan alam justru membuat rakyatnya lemah kontrol terhadap korupsi maka hal itu juga kita bisa lihat dari perpektif teori ekonomi mikro. Dalam prinsip ekonomi dikatakan bahwa Manusia pada dasarnya adalah mencari incentive (People usually respond to incentives, exploiting opportunities to make themselves better off). Misalnya adalah ketika seseoarang diambil hartanya untuk pajak maka sebagai aktor yang rasional tentu dia akan berpikir akan timbal balik atau incentive yakni berupa layanan publik yang baik. Jika tidak ada incentive maka dengan sendirinya akan ada protes dan akan mempertanyakan ke mana uang mereka yang diambil oleh negara itu. Namun sebaliknya jika tidak ada uang mereka yang diambil alias pajak rendah karena negara kaya akan sumber daya alam, maka merekapun tidak digerakkan untuk mengontrol anggaran publik karena merasa tidak dirugikan. Selanjutnya adalah merekapun merasa tidak penting untuk mengontrol anggaran pemerintah.
Dengan pendekatan ekonomi diatas, ekonom dari MIT Benjamin Olken (2005) melakukan research tentang korupsi di Indonesia yang diterbitkan Bank Dunia. Menurut Olken partisipasi publik dalam mengontrol korupsi akan besar ketika itu menyangkut program yang berhubungan dan private good yang juga berhubungan langsung dengan incentive kepada warga semisal subdisi makanan, kesehatan dan pendidikan. Sebaliknya jika berhubungan dengan barang publik yang incentivenya sedikit bagi warga maka yang terjadi adalah minim partisipasi warga dalam melakukan monitor. Proyek-proyek infrastruktur sangat rawan korupsi menurut Olken, karena incentive nya lemah bagi warga.
Kembali ke paragraf pendahulan diatas, kasus rendahnya minat dosen mengontrol korupsi di kampus mereka sendiri karena memang selama ini pembangunan di kampus banyak di fasilitas fisik yang tidak berhubungan langsung dengan mereka. Sedangkan gaji mereka ada tidak ada korupsi sebagai PNS ya akan tetap sama. Akibatnya tidak ada perubahan incentive baik pejabatnya korupsi maupun tidak korupsi. Oleh sebab itu korupsi di kampus lebih banyak di korupsi infrastruktur karena memang ini public good yang tidak berhubungan langsung dengan para dosen. Namun sebaliknya, jika uang tunjangan sertifikasi dosen macet atau dikorupsi, siap-siap para dosen itu akan berdemo menuntut pejabatnya untuk becus mengurus uang negara. Tetapi jika proyek gedung macet karena sunatan masal proyektor dan birokrat tentu mereka tidak peduli.
Apa solusinya ? menurut hemat penulis jika tunjangan kinerja itu diserahkan kepada kampus dalam menghasilkan income sendiri tanpa subsidi negara maka yang terjadi adalah kontrol mereka akan korupsi akan besar. Jika tunjangan kinerja dipengaruhi variabel kampus dalam mengelola tata kelola pemerintahannya sendiri yang berarti semakin baik tata kelola semakin banyak pemasukan dan semakin besar pula penghasilan dosen, maka mereka akan tentu akan risau jika ada salah tata kelola (baca: korupsi).
Selama ini kampus dikelola seperti negara-negara yang disebut oleh Paul Collier dan Ross diatas yakni pemasukan lebih bertopang pada faktor sumber daya alam dalam hal ini untuk konteks kampus dana pusat yang tidak berhubungan langsung dengan tambah atau berkurangnya incentive para dosen. Jika memang ide ini terlampau liberal maka harus ada mekanisme yang sama ketika pemerintah pusat menggelontorkan dana ke universitas. Ini artinya besar kecilnya tunjangan para dosen dari APBN di suatu Universitas harus dilihat dari seberapa baik tata kelola universitas itu yang dinilai akuntan publik yang independent.
Jika ini dilakukan maka ini akan memaksa kampus untuk memperbaiki tata kelola mereka sendiri. Universitas pun akan menggelontorkan dana sesuai dengan kinerja tata kelola fakultas. Selama ini mekanisme kontrol keuangan yang hanya mengandalkan kontrol BPK yang tidak cukup. Harus ada iklim almiah untuk mengontrol keuangan dari para stake-holders termasuk para dosen yang cuek tadi. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi bagi perbaikan bangsa ini terutama kampus tempat saya bekerja.
Referensi: