Lihat ke Halaman Asli

Budi Kurniawan

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Kalahnya Basuri dan Peluang Ahok di Jakarta

Diperbarui: 10 Desember 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Basuri Tjahya Purnama yang merupakan incumbent kalah telak di pilkada Belitung Timur. Sebagai orang yang dibesarkan di kepulauan Bangka Belitung saya sudah memprediksi dari awal bahwa Basuri akan kalah jika calon dari etnis Melayu hanya 1 atau maksimal 2. Kemenangan Yuslih Ihza dan kekalahan Basuri menandakan bahwa etnisitas adalah masih faktor yang utama di dalam benak pemilih di daerah ini.

Mengapa dahulu Basuri bisa menang dan kali ini kalah ? Di tahun 2010 yang lalu ada lima pasang calon. Dari komposisi etnis ada empat melayu dan satu Tionghoa. Basuri bisa menang dikarenakan terdistribusinya suara etnis melayu secara merata sedangkan etnis Tiong Hoa mampu solid ke adik Ahok ini. Sehingga dengan modal 30 persen saja, cukup bagi Basuri untuk menjadi bupati Belitung Timur di kantong etnis melayu yang mayoritas.

Bagaimana menjelasakan hal ini secara ilmiah ? Jawabannya adalah teori pemilih tengah atau median voter theorem dapat diajukan sebagai penjelasan. Kurva pemilih menurut teori ini adalah seperti lonceng. Mayoritas pemilih adalah di tengah. Pemilih tidak suka memilih calon yang ekstrem baik kiri maupun kanan. Mayoritas pemilih adalah moderat secara idiologi dan basis sosial. Basori sebenarnya secara basis bukanlah di tengah namun dia berada di titik ekstem. Dia Tionghoa non muslim di tengah mayoritas muslim melayu moderat yang juga dan tidak ekstrem fundamentalis. Di tahun 2010 ke empat calon kada melayu itu berlomba meraih suara pemilih tengah, dan Basuri solid di titik ekstrem bukan karena idiologi tetapi lebih karena dia dilahirkan menjadi minoritas. Hasilnya suara pemilih tengah terpecah ke banyak calon dan suara para "ekstremis" etnis Tionghoa solid ke Basuri.

Di tahun 2015, konstelasi politik berubah. Klan Mahendra mampu menyatukan suara pemilih tengah ini dan Basuri tetaplah di titik ekstremnya yang given itu. Hasilnya sesuai teori, jika ingin menang dalam pemilu yang hanya sedikit calon jangan pernah di titik ekstrem, bergeserlah ke tengah. Yuslih di tengah dan Basori ada di titik ektrem terkunci tidak bisa bergeser. Hasilnya Yuslih menang.

Strategi berada di titik ekstrem inilah yang sedang dimainkan Donald Trump di konvensi partai Republik. Trump berusaha sangat extrem anti Islam dan ultranasionalis bahkan fasis untuk meraih suara solid kelompok ultranasionalis konservatif di tengah belasan calon lain yang berada di tengah. Apakah startegi Trump ini sukses ? Sampai hari ini dia sukses meraih 30 persenan. Bisa jadi dia menang konvensi tetapi untuk jadi Presiden di tengah sistem dua partai dimana biasanya ada dua calon Presiden, maka sikap extrem Trump membuat hal itu mustahil.

Lalu apa pelajaran untuk Ahok ? Jika Ahok ingin menang pilkada Jakarta, contohlah Strategi Basuri yang di tahun 2010. Jika hanya dua calon yakni semisal Ahok dan Ridwan Kamil maka bisa kita katakan peluang Ahok menjadi tipis. Ahok bukanlah FX Rudy yang walaupun non-muslim tetapi beretnis Jawa. Solo bukanpula Jakarta. Solo lebih dikatakan mayoritas etnis Jawa abangan ( maaf meminjam istilah Gertz ) yang berbeda dengan Jakarta yang pernah jadi basis Partai Islam. Pada intinya pilkada Jakarta akan etnis Tionghoa akan solid ke Ahok. Ini artinya politik etnis masih cukup kuat di negeri ini di beberapa daerah. 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline