Lihat ke Halaman Asli

Suap-menyuap di Indonesia yang Tiada Akhir

Diperbarui: 1 Agustus 2018   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: jabar.tribunnews.com)

Suap-menyuap (korupsi) bukanlah hal baru, dalam prakteknya masih saja terjadi di negeri ini. Dikatakan demikian, karena peristiwa itu sejak dulu sering terjadi sehingga mungkin dianggap hal yang biasa untuk dilakukan walau ada hukum yang mengaturnya. Sudah puluhan tahun terlihat adanya korupsi di Indonesia tapi sulit dikendalikan apalagi diberantas.

Kita semua yang "waras" dalam artian sehat jasmani dan ruhani (kepekaan hati, atau punya rasa) pasti ikut prihatin dengan belum surutnya korupsi, bahkan cenderung meningkat setiap tahun. Kasus korupsi dilakukan perseorangan atau rombongan, serta ditenggarai pihak swasta/perusahaan (korporasi) ikut terlibat dan melibatkan diri terjadinya penyuapan karena bisa saja "terbentur" aturan dan prosedur layanan publik yang menghambat kepentingannya.

Sudah bisa dikatakan TANGGAP DARURAT KORUPSI DI INDONESIA, mengingat pejabat tinggi Kementerian Agama juga pernah didakwa melakukan korupsi uang setoran pemberangkatan haji. Plesetan bergulir, bahwa seseorang meskipun rajin beribadah bisa saja tanpa ragu melakukan korupsi seolah ada ijin dari Sang Khalik.

Mantan Presiden Republik Indonesia Almarhum Gus Dur pernah menyatakan bahwa korupsi masih menjadi budaya, diberantas di bibir dan dikerjakan oleh yang punya bibir (GUS DUR, DR. Abdul Wahid Hasan, 2015). Tepat sekali pernyataan itu, karena praktek korupsi utamanya suap perlu/harus dicegah dengan cara yang tepat dan efektif (tersistem).   Mereka, para calon koruptor maupun si-koruptor, agaknya "tidak takut" dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tidak takut itu, mudah dipahami, karena penegakan hukum terkait korupsi "belum berjalan dan dijalankan secara maksimal" sehingga tak salah bergulir sindiran yaitu tajam bawah tumpul atas. Padahal, untuk menyikapi kasus korupsi bisa/dapat dibuka peluang intepretasi (tafsir) dalam penjatuhan hukuman khususnya pidana mati sesuai pasal 2 ayat 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun selama ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tampak ringan atau belum berat dalam penjatuhan hukuman dengan berbagai alasan pembenar. Maka sekali tempo, perlu ada Hakim yang "berani" memulai dan/atau memelopori penjatuhan HUKUMAN MATI sebagai shock-therapy bagi para koruptor kelas kakap agar ada "efek jera" hari ini dan hari esok.

Penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum. Sehingga bisa diartikan juga penyuapan adalah tindakan memberikan atau meminta uang, barang, atau bentuk lain dari pemberi suap kepada penerima suap dengan maksud agar penerima suap memberikan kemudahan berupa tindakan atau kebijakan dalam wewenang penerima suap sesuai dengan kepentingan pemberi suap.

Lebih lanjut, dikatakan/ditegaskan bahwa suap dapat membuat orang yang berhak kehilangan haknya, dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Suap adalah sesuatu yang sangat merusak tatanan masyarakat. Apabila jika suap telah menjadi kebiasaan atau tradisi, maka bisa menghancurkan sebuah negara. Yang menjadi korbannya ialah rakyat dan juga generasi penerus bangsa dengan kondisi negara yang carut-marut. Suap seperti penyakit yang secara diam-diam menggerus keadilan dan kemanusiaan (www.kan.or.id, 08/06/2017).

Ada yang menyatakan bahwa masalah korupsi itu menjadi salah satu "musuh" besar setelah masalah narkoba di negeri ini. Dikatakan musuh, karena banyak duit rakyat yang dimiliki secara melawan hukum oleh para koruptor demi untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, maupun golongannya. 

Sehingga bisa dipahami, bahwa korupsi memang merupakan "penyakit sosial" yang sangat merusak tatanan masyarakat serta menggerus kemanusiaan dan keadilan sehingga tidak tertutup kemungkinan bisa menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sekitar dua puluh tahun yang lalu seorang Psikolog sempat menyentuh dan mengejutkan pernyataannya dalam Koran Kompas menyambut HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA bahwa pemicu korupsi justru dari pihak keluarga itu sendiri (suami, istri, dan anak). Jadi, tidak semua orang tahu dan paham cara mendapatkan rizki secara "baik dan benar" atau mungkin pura-pura tidak tahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline