Lihat ke Halaman Asli

Kesunyian Media Membicarakan Desa

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390540549602720170

Perbincangan tentang isu 'Perdesaan' di berbagai media, termasuk di sosial media sangatlah sedikit dibanding perbincangan tentang beragam hal yang terjadi di Perkotaan. Desa dengan beragam isu yang terkait dengannya barangkali memang tidak menarik untuk menjadi bahan informasi bagi banyak media. Biarpun kenyataannya jumlah penduduk terbesar negara ini ada di wilayah perdesaan. Menggunakan analisys topsy.com, penulis mencoba membandingkan pembicaraan di twitter soal 'desa' versus 'jakarta' dan 'jokowi' dalam kurun waktu 1 (satu) bulan terhitung tanggal 23 Desember 2013 hingga 23 Januari 2014, dengan hasil sebagai berikut ; Kata 'Desa' menjadi pembicaraan di twitter sebanyak 335.074 kali, sedangkan  kata 'Kota' menjadi pembicaraan di twitter sebanyak 3.404.614 kali dan kata 'Jokowi' menjadi pembicaraan ditwitter sebanyak  1.081.793 kali. Perbandingan prosentase ketiganya adalah; desa 6.95 %, kota 70.61% dan Jokowi 22.44 %. Melihat data 'perbincangan' tersebut, menunjukan bahwa desa dengan beragam isu yang menyertainya, sesungguhnya sangat terkucilkan. Tidak banyak banyak netter (pengguna internet) yang memiliki perhatian terhadap isu perdesaan. Sebagian besar netter itu tentu adalah warga dengan kelas ekonomi menengah, yang memang sebagian besar hidup diperkotaan. Para netter di Indonesia, sepertinya tak tertarik atau menaruh perhatian pada isu perdesaan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) berdasar sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237 641 326 jiwa,  mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa (49,79 persen) dan mereka yang hidup di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21 persen). Berdasar data BPS tersebut, warga yang hidup di perdesaan masih lebih banyak dibanding dengan warga yang hidup di perkotaan. Sebagian besar warga yang diperkotaan adalah juga orang-orang desa yang merantau mengadu nasib untuk perbaikan kesejakteraan hidupnya. Namun, kenapa tak banyak orang yang peduli dengan desa?. Dalam proses pembangunan, selama ini desa juga hanya menjadi obyek dan sasaran semata. Mereka tak pernah menjadi pelaku pembangunan yang sesungguhnya. Dalam banyak kasus, warga desa biasanya tak mengetahui program pembangunan pemerintah (daerah, propinsi, maupun pusat) yang sedang dilangsungkan di desanya.  Bahkan, kadang orang-orang desa terpaksa harus menyingkir dan tunduk terhadap pemerintah dan investor yang sedang mengelola sumberdaya alam (air, bahan mineral, minyak bumi, dll) yang ada di sekitar desanya. Orang-orang desa hanya menjadi penonton. Beruntunglah beberapa waktu lalu sejumlah pegiat desa, LSM, akademisi dan parlemen berhasil mendorong lahirnya Undang-undang Desa untuk menegasikan fungsi dan peran desa dalam kehidupan bernegara. Tujuannya agar 'desa' tak lagi termarginalkan. Bagaimana implementasinya kedepan? mari kita kawal bersama. Kesunyian Media tentang Desa Kembali pada soal 'kesunyian' desa dalam perbincangan media. Berdasar analisis pembicaraan isu 'desa' di sosial media sebagaimana tersebut pada paragraft pertama dan kedua, media di Indonesia belum cukup banyak memberikan porsi informasi tentang desa dan atau informasi untuk warga desa. Simak saja acara-acara di televisi maupun pemberitaan di media cetak, isinya tentang 'perkotaan'. Tak banyak media mengupas tentang desa. Kalaupun 'wajah desa' diangkat media, itupun hanya menjadi komoditas semata seperti acara reality show di televisi swasta yang bertajuk "Jika Aku Menjadi". Pertumbuhan internet yang melahirkan sosial media sebagai 'new media' di Indonesia, ternyata juga tak cukup berpihak pada isu desa. Pembicaraan 'desa' di jagat maya sangatlah sedikit. Data pembicaraan di twitter pada paragraft terdahulu mencerminkan 'kesunyian itu'. Wahai kawan-kawan di desa !, saatnya sekarang kita membicarakan tentang isu desa oleh kita sendiri. Jangan berharap media arus utama (apalagi televisi) dan mereka yang hidup di perkotaan (warga kelas menengah) akan membicarakan kita yang di desa. Mereka akan membicarakan kita yang di desa hanya jika ada musibah menimpa kita (bencana alam dll).  Mari kita dirikan media sendiri, media desa-- yakni media yang di kelola oleh orang desa, untuk orang desa, dan untuk sesama orang desa.  [twitter -- @budhihermanto]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline