[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Keramaian Sepanjang Sisowath Quoy Pinggir Sungai Tonle Sap Kota Phnom Penh / Foto Budhi K. Wardhana"][/caption]
Kuteguk sebotol air saat berpasang kekasih meresapi syahdunya senja. Tapi di sudut sana puluhan anak mengasong dan mengemis demi sesuap nasi.
“Saya mau tamasya, berkeliling keliling kota. Hendak melihat-lihat keramaian yang ada. Saya panggilkan tuktuk, kereta tak berkuda. Tuktuk, tuktuk, coba bawa saya...”
Menyisir jalanan utama Kota Phnom Penh seperti menyeret ingatan saya pada lagu kanak-kanak yang liriknya sedikit diubah. Seakan kutemukan sepotong Jakarta di era tujuh puluh atau delapan puluhan. Tak terlalu riuh oleh mobil dan motor yang berlalu lalang. Tanpa bingkai gedung-gedung yang mencakar langit. Tiada bis kota, angkutan perkotaan, apalagi monorail, atau MRT. Segalanya masih sederhana. Hanya tuktuk, sejenis becak yang ditarik sepeda motor, yang terlihat menyemut di sekujur kota. Juga sebagian orang yang menggenjot becak alias cyclo bermuatkan orang dan barang.
Debu tipis yang mengapung membuatku terbatuk-batuk. Sopir tuktuk yang membawa saya melintasi protokol ibukota Kamboja ini lantas bertutur tentang mahalnya biaya hidup di sini. Katanya dia mesti jatuh bangun demi menghidupi istri dan dua anaknya. Entahlah, apakah itu sekedar memacing ibaku demi mengharap tambahan tip, atau memang begitu adanya. Yang jelas harga bensin di sini sungguhlah mahal, di atas 1,3 Dolar per liter. Alias nyaris menyentuh angka Rp. 13.000.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Lalu Lintas Kota Phnom Penh dari Tuktuk yang melaju / Foto : Budhi K. Wardhana"] [/caption]
Saya mencoba mencari sebab mengapa kota ini terasa berdebu. Apa lantaran matahari yang begitu ganas memanggang kota. Atau karena minimnya filter udara berupa pepohonan rindang di sisi jalan hingga membuat suasana terasa kerontang. Lantas dari mana muasal debu ini? Aku hanya menebak-nebak mungkin partikel ini berasal dari proyek-proyek properti di sekitaran kota yang diterbangkan angin siang. Sedikit beruntung saya mampir di Phnom Penh saat mulai memasuki musim hujan sehingga matahari tak menjerang garang.
Maraknya pembangunan perumahan dan gedung barangkali jadi indikasi bahwa ekonomi negeri kecil ini sedang menggeliat usai kemelut politik yang telah menghabisi jutaan nyawa warga Kamboja. Mereka pasti tak pernah lupa dengan kebengisan rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot beberapa dekade silam. Mimpi buruk rakyatnya terekam sempurna di Ladang Pembantaian Choeung Ek dan Penjara Rahasia S-21 Tuol Sleng. Kisah penyiksaan, pekuburan massal, dan bukti pembantaian seolah menjadi saksi bisu cerita kelam bangsa ini. Sejarah yang tak pernah mereka sembunyikan, seperti mengisyaratkan sebuah pesan pada dunia bahwa peradaban tak layak didirikan di atas kebiadaban.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Taman dengan Latar Belakang Stupa Besar Wat Phnom / Foto : Budhi K. Wardhana"] [/caption]
Namun Phnom Penh tak sekedar menjual kengerian sejarah. Galibnya negeri-negeri Indocina yang didominasi kultur Buddhisme, keberadaan Wat atau Pagoda dengan biksu berseragam oranye menjadi pemandangan lumrah di pelosok kota. Sebuah pagoda tua berdiri megah dikelilingi taman hijau dengan pohon-pohon besar peneduh. Konon seorang perempuan tua bernama Duan Penh menemukan relik Buddha dan menyimpannya di sebuah pagoda yang kini bernama Wat Phnom. Dalam bahasa Khmer, Phnom Penh sendiri bermakna Bukit Penh, barangkali ini merujuk pada legenda wanita tua tersebut.
Awalnya kota ini bukan apa-apa kalau saja di abad 15 Raja Kamboja Ponhea Yet tidak memindahkan ibukota Kerajaan Khmer dari pedalaman Angkor ke Phnom Penh. Perpindahan ini pastilah bukan tanpa alasan. Saat itu invasi Kerajaan Ayuthaya di Thailand sudah mengancam keberadaan imperium Khmer. Di sisi lain pemilihan kota di pinggir Sungai Mekong ini sangatlah tepat demi mendukung sektor perdagangan kerajaan. Ibukota pun bertumbuh cantik seiring hadirnya kolonial Perancis yang menyulapnya menjadi kota modern berjuluk Mutiara Asia. Sayangnya, perang sipil dan konflik politik telah mencabik-cabik wajah kota.