Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Kami Dibantai?

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Tengkorak Korban Kekejaman Khmer Merah yang Tersimpan di Genocidal Center / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]

Tak perlu banyak kata untuk bercerita. Karena belulang dan tengkorak para korban sudah berkisah sejujurnya.

Hari memang sudah tak lagi pagi saat bis malam yang membawaku dari Ho Chi Minh City merayap pelan di jalanan Kota Phnom Penh dan berhenti di area pinggir Sungai Tonle Sap. Bolehlah saya menarik nafas lega. Sepuluh jam sudah aku terkurung di dalamnya dengan suguhan pemandangan monoton sepanjang jalan. Kulirik sejenak arloji di tangan, pukul sepuluh kurang beberapa menit. Sejenak saya sempatkan merapikan rambut dengan tangan sembari mengucek mata supaya tak kelihatan sembab. Saya beranjak melepaskan diri dari kepungan puluhan sopir Tuktuk yang langsung menyerbu di pintu bis. Beberapa membuatku risi karena nada suaranya yang terdengar memaksa. Saya mencoba menyusuri trotoar kawasan riverside sembari mencari jasa Tuktuk lainnya yang mungkin bisa ditawar lebih murah. Seorang sopir dengan perawakan gemuk dan raut muka jenaka mencuri perhatian saya. Dia menawariku 25 Dollar untuk tur keliling kota sampai jam 5 sore. Namun lewat negosiasi yang lumayan alot akhirnya dia bersedia mengantar dengan biaya 13 Dollar. Saya pun tersenyum meski tak terlalu puas dengan harganya. Tapi sudahlah, toh harga bensin di sini mahal sekali, hampir 13 ribu Rupiah per liter! [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Kuburan Massal di Ladang Pembantaian Choeung Ek / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Gersang dan berdebu, itulah yang langsung melekat dalam benak saat menyusuri ibukota Kamboja ini. Ya, meskipun matahari tak terlalu menyengat karena mendung yang menggayut tipis, tapi jarangnya pohon peneduh di sisi jalan menjadikan suasana terasa kerontang. Apalagi truk-truk raksasa pengangkut material kerap melintasi protokol kota hingga meninggalkan lautan debu yang mengharuskan saya berkali-kali menutup hidung. Sementara itu tuktuk berlari menjauhi keramaian, melewati daerah pinggiran yang sarat ilalang, menuju tempat yang kini seperti menjadi destinasi wajib para traveler. Ladang pembantaian Choeung Ek. Susana senyap mendadak mengelilingiku saat kaki ini memasuki wilayah yang dikenal sebagai Choeung Ek Genocidal Center dengan tiket seharga 2 Dollar. Aura muram muncul begitu saja tatkala saya mulai menelusuri jejak kekejaman rezim Pol Pot di era kejayaan Khmer Merah lebih dari seperempat abad silam. Rekonstruksi pembantaian ratusan nyawa seolah membayang di pelupuk mata, dari perhentian truk yang mengangkut tahanan, berderap ke ladang pembantaian, eksekusi yang penuh kekejian, sampai kuburan massal tempat terserak tulang belulang korban. Terbayang adegan film Killing Field yang diperani Haing S. Ngor saat dia kabur dari kamp kerja paksa dan matanya dibuat terbelalak oleh ratusan tengkorak dan jasad manusia yang berserakan di sekitarnya. Adakah itu ladang pembantaian Choeung Ek tempat saya berdiri kini ataukah tempat jagal lain yang kabarnya tersebar di pelosok negeri? [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Pohon Tempat Membantai Anak-Anak / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Sejenak saya berhenti di satu area tempat ratusan jasad dikubur secara massal. Tak jauh di sana kotak kaca berisi cabikan baju korban terpampang di depan mata. Saya melangkah terus ke belakang menyisir tepian danau kecil. Mungkin kalau bukan area pembantaian, banyak orang akan bercengkerama di sekitarnya. Tapi di sini orang enggan berkata-kata karena aroma duka terhirup nyata. Seorang gadis cantik kulit putih tampak terpekur di depan pohon kematian. Kabarnya di sinilah kaki tangan Khmer Merah menghabisi korban perempuan dan anak-anak dengan menghantamkan kepala mereka ke batang pohon ini. Bahkan ada juga yang melemparkan anak-anak ke udara dan menyambutnya dengan bayonet tajam yang teracung. Saya bergidik dalam sunyi. Dari kejauhan sebuah bangunan tinggi mirip monumen seakan memanggilku untuk disambangi. Inilah memorial stupa yang dibangun sebagai persemayaman jasad korban sekaligus pengingat akan sejarah kelam Bangsa Kamboja. Di sini tersimpan sisa-sisa pakaian, ribuan batok kepala dan tulang belulang mereka yang dibunuh secara kejam. Saya memasuki bangunan ini dengan terlebih dulu melepas alas kaki dan topi. Sepi serasa menyayat. Tiada kata yang bisa terucap di sini selain rangkaian doa dalam bahasa keheningan. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Kuburan Korban Penjara Rahasia S-21 / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Tergesa saya keluar dari lahan pembunuhan. Awan bergumpal perlahan menutupi matahari. Tuktuk yang sudah menanti di area parkir segera melaju ke tujuan berikut yang konon tak kalah menakutkan, Tuol Sleng Genocide Museum. Bangunan yang tak jauh dari pusat kota ini mulanya adalah gedung sekolah menengah yang berubah jadi penjara rahasia berjuluk Security Prison – 21 (S-21) di jaman Khmer Merah berkuasa tahun 1975. Walau akhirnya rezim tersebut tumbang empat tahun kemudian, tapi cukuplah mengubah gedung ini menjadi bangunan yang penuh horor. Diam dan mencekam, begitulah aroma yang mendadak menyerbuku. Seorang lelaki tampak menyodorkan tiket seharga 2 Dollar tanpa penjelasan apapun. Di tengah halaman terpancang beberapa nisan tempat dikuburkannya 14 tahanan yang ditemukan tewas oleh Tentara Penyelamat dan Pembebasan Kamboja. Ruang kelas paling depan kabarnya dipakai sebagai arena penyiksaan dan interogasi. Saya bergidik menyaksikan interior yang dibiarkan apa adanya, dinding yang kusam, ubin tua, teralis berkarat, tempat tidur, rantai dan tongkat besi, juga lukisan dinding tentang penyiksaan yang mengerikan. Tampak korban hangus seakan dibakar hidup-hidup. Begitu pula lantai di bawah tempat tidur yang hitam berjelaga. Entah kenapa saya seperti ingin cepat-cepat keluar ruangan. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ruang Kelas yang Berubah Menjadi Tempat Interogasi dan Penyiksaan di Penjara S-21 / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Aneka gambar dokumentasi penjara terpasang rapi di blok bangunan berikutnya. Rangkaian foto korban dan penyiksaan membuat perut saya mual seketika. Seorang mayat kakek telanjang yang diseret atau batok kepala wanita yang dibor hidup-hidup membikin kuduk saya meremang. Aku benar-benar tak sampai hati untuk mengambil foto meski dalam hati saya memuji pegawai penjara yang mengadministrasikannya dengan sangat rapi. Bergeser ke belakang, terlihat barisan gedung kelas yang diubah menjadi sel-sel tahanan. Saya melongok ke beberapa ruang dan menemukan sisa-sisa darah kering di lantai. Ternyata waktu dua puluh tahun lebih belum bisa menghapus sisa-sisa kekejaman. Area terakhir di kawasan museum ini dipakai untuk memajang beragam alat dan ilustrasi penyiksaan di Penjara S-21. Masih di blok yang sama, terdapat ruang tersendiri untuk menyimpan beragam tengkorak korban yang beberapa diantaranya terlihat berlobang. Saya tak berani membayangkan apakah itu lobang bekas peluru atau mata bor yang menembus batok kepala. Di sampingnya berdiri patung Buddha dengan beberapa pengunjung yang tampak mendoakan para korban. Saya sendiri terpaku di dalam sunyi. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ruang Kelas yang Berganti Menjadi Sel Penjara / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Namun beberapa jenak kemudian sesuatu yang mendesak mengharuskanku setengah berlari menuju toilet. Tak beda dengan ruang lainnya, kamar kecil ini pun dibiarkan apa adanya, kecuali kloset dan sanitair yang kelihatannya sudah dirombak. Sesosok bayangan hitam terlihat melintas usai saya buang air. Segera aku keluar toilet dan menoleh kiri kanan, namun tak ada seorang pun di dekatku. Bulu kuduk saya sontak merinding. Lantas siapa yang baru saja lewat? Tak urung kejadian kamar kecil ini membuat saya terbirit-birit meninggalkan gedung. Tak kupedulikan pria renta saksi kekejaman yang duduk memelas dan berharap banyak dari kedermawanan pengunjung sepertiku. Gerimis tipis mulai luruh dari langit yang kelabu. Sopir tuktuk terlihat kaget menyaksikan wajah saya yang pucat dengan nafas tak beraturan, “Are you OK?” Namun saya hanya diam tanpa selera. Kengerian yang mencengkeram. Wajah-wajah sayu para korban seolah mengapung di depanku menuntut jawab, “Apa kesalahan kami? Mengapa kami dibantai?” Tuktuk berjalan pelan menembus hujan deras yang tiba-tiba hadir begitu saja. Entah kenapa kota ini terasa demikian menakutkan. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Tuol Sleng Genocide Museum Alias Penjara Rahasia S-21 / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline