Lihat ke Halaman Asli

MBudiawan

Indahnya Alam Papua

Bodoh

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hey, ngapain! Siapa kamu! ” teriak penjaga toko sambil membuka pintu kamarnya.

“Saya mau maling...!” ujarnya menghardik  sambil mengacungkan pistol, “Kamu tahu siapa aku?”

“Ya...jangan lukai saya, saya hanya seorang penjaga toko. Jangan lukai saya”ujar si karyawan, tubuhnya nampak menggigil sambil mengangkat tangan.  Alfred senang bukan main melihat orang itu ketakutan saat dirinya membuka kupluk yang menutupi wajah. Semua orang pasti mengenalnya, preman kambuhan yang sadis. Malam itu dia dengan leluasa tanpa perlawanan menggasak barang-barang yang ada di dalam toko.

Itulah terakhir kalinya Alfred bisa bernapas dialam bebas, sebuah kebodohan diakibatkan pengaruh minuman keras membuatnya menjadi tidak waras. Alfred kehilangan akal sehat, sampai kupluk yang dia pakai dibuka dihadapan penjaga toko. Pagi hari serombongan polisi menjemput dirinya yang masih tertidur bersama barang hasil curian. Alfred tidak bisa mengelak lagi.

Waktu 5 bulan dirasakan begitu lama, lima bulan didalam penjara bukan waktu yang sebentar. Penantian akan kebebasan akhirnya tiba. Alfred berniat untuk pulang kekampung, dia tidak ingin dianggap sampah masyarakat, tidak mau hidup didunia hitam lagi.

“Maaf, saya meminta ijinnya barang sebentar....” Alfred memulai bicaranya dengan santun, “Sekali lagi saya mohon maaf telah menggangu kenyamanannya. Saya rencana mau pulang ke kampung, tapi kekurangan uang buat ongkos kesana”

“Saya baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, ini surat pembebasan saya...” lanjutnya sambil memperlihatkan sebuah kertas ukuran A4 dengan logo Lembaga Pemasyarakatan. Banyak para penumpang yang pucat pasi mendengarnya.

Hari itu Alfred mendapat uang yang cukup banyak. Untuk ongkos kekampungnya jelas berlebih, bisa pulang pergi ke kampung 4 trip. Dengan usaha yang mudah namun hasilnya cukup lumayan,  menggiurkan. Tiap hari kerjanya naik turun bus keliling kota, dengan bermodalkan surat dari LP, dia meraup penghasilan besar. Dia sadar bahwa orang memberi uang bukan karena kasihan melihatnya,tapi  cemas dengan mantan residivis kambuhan seperti dirinya.

“Terimakasih kepada semuanya. Saya do’akan semoga semua selamat sampai tujuan” ujarnya sambil meminta kepada sopir bus menahan laju kendaraan. Seperti biasa dia meloncat sementara bus masih berjalan dengan pelan.

Para penumpang yang melihatnya turun tampak terlihat senang. Mereka merasa kurang nyaman dan ngeri, walaupun tutur katanya halus namun dibalik itu semua seperti mengancam dengan memamerkan surat dari LP dan tato yang menghiasai tanganya. Ngeri...apalagi ibu-ibu sepertinya mereka telah lepas dari penyanderaan, penyanderaan jiwa.

Lama-lama pikiran Alfred  berubah, yang awalnya punya niatan untuk pulang ke kampung, ingin bertobat sekarang malah sebaliknya. Ternyata dengan bermodalkan surat sakti dari LP Cipinang dirinya bisa dengan mudah medapatkan uang.

Satu bulan berlangsung semua berjalan sesuai dengan harapannya.  Alfred merasa pernah tidak memaksa dalam meminta uang. Wajah-wajah ketakutan itu kadang tidak berani menatap wajahnya disaat menyodorkan uang. Biar saja, toh aku tidak membuat onar dan tindak kekerasan.

Pagi itu, seperti biasa dengan bermodalkan surat pembebasan Alfred mulai beraksi didalam bus.  Kaos lekbong selalu dipakainya, supaya tato di tangan dan dada terlihat oleh para penumpang.  Turun naik dari satu bus ke bus yang lainnya di pagi yang cukup ramai itu.

Bus Damri berjalan perlahan, sesekali berhenti dibeberapa tempat yang bukan seharusnya bukan untuk menaikan dan menurunkan penumpang.

“Selamat pagi, bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Saya mau menyita waktunya barang sebentar, apa yang saya sampaikan jangan samapai membuat bapak dan ibu merasa terganggu apalagi terpaksa.....” ucapan Alfred pagi itu terhenti begitu terdengar ada bentakan dari belakang bis. Nampak seorang berperawakan tegap menghampirinya, Polisi!

“Jangan lari!” bentak polisi itu sambil menuju arah depan bus dimana Alfred berdiri.

Tanpa disadari tidak kegiatannya selama satu bulan ini membuat banyak penumpang bus terganggu, membuat resah penumpang.  Bisa saja ada orang yang mengadukan pada aparat yang berwajib.

Merasa bahwa dirinya akan ditangkap, tanpa aba-aba pada sopir bus, dia  melompat keluar dari pintu bus. Alred sangat ketakutan masuk jeruji besi lagi,  dan “bruk.....!” sebuah mobil yang datang dari sebelah kiri bus menabrak tubuhnya dengan keras.

Penumpang hanya bisa mendengar suara hantaman keras bersamaan derit  suara rem. Tidak terdengar suara mengaduh, yang ada tinggal ceceran darah dan tubuh terbujur diantara bis dan mobil avanza putih yang telah ternoda oleh warna merah.

“Bodoh...!” terdengar umpatan beberapa orang melihat keluar jendela, disela-sela jeritan para wanita penumpang bus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline