Dilihat dari segi bisnis, sama-sama industri, sama-sama ada pangsa pasarnya.
Yang membedakan jika pabrik tahu/tempe ditutup karena harga kacang kedelai naik, dijamin pelaku protes bukan hanya pemilik pabrik. Pelanggan pun pasti ikut protes. Diwawancara televisipun mereka bakal mau tanpa harus memakai topeng atau masker penutup wajah.
Sementara pada saat Gang Dolly ditutup, yang protes hanya produsennya saja, para pelanggan sama sekali tidak menampakan hidungnya, tidak ada yang mau ikut turun kejalan. Harusnya mereka ikut teriak-teriak sambil bawa poster. Kalaupun ada yang mau diwawancara, paling mereka minta pakai topeng, malu-malu tapi mau.
Kemana para langganannya? Ah, paling mereka sudah pindah langganan ke produsen lain, sekedar pindah tempat saja. Paling pikiran mereka, untuk apa protes segala, Gang Dolly buat mereka hanya dianggap seperti rumah makan saja, kalau buka ,ya disinggahi. Tapi kalau tutup cari rumah makan di tempat lain.
Bu Risma, sepertinya masih banyak PR buat ibu. Masih banyak ‘rumah makan’ hidung belang yang lain, yang menyamarkan diri menjadi panti pijat, karaoke dll.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H