Lihat ke Halaman Asli

MBudiawan

Indahnya Alam Papua

Udin Stres

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Hampir setiap hari Udin rajin datang membantu Pak Ustad menyapu dan membersihkan mushola. Sebuah mushola panggung hasil swadaya masyarakat kampung. Kebetulan rumah Udin tidak jauh dari mushola tersebut. Sering juga Udin bermalam di mushola bareng bersama teman-temannya. Terutama di hari libur sekolah seperti bulan puasa sekarang ini.

Malam itu hujan cukup deras, sehabis sholat Taraweh Udin tidak pulang ke rumah.

“Kita tidur di sini saja,” ajak Udin sama Iman, teman karibnya.

“Nggaklah. Bapakku lagi tidak ada di rumah. Kasihan ibu sendirian,” tolak Iman.

“Hujan deras gini mau pulang? Aku mau tidur di mushola saja. Tadi sudah minta ijin sama Pak Ustad.”

“Berani sendirian?” tanya Iman

“Beranilah. Takut apaan?” balas Udin. Ya buat apa takut, apa yang perlu ditakutkan pikirnya. Setan pun kalau bulan puasa begini kan dirantai, tidak akan bisa mengganggu manusia.” Lagian banyak orang yang tadarusan di mushola, biasanya sampai subuh.”

Akhirnya Iman pulang dengan berlari di tengah guyuran hujan yang cukup lebat itu. Sudah pasti basah kuyup tuh anak, pikir Udin dalam hatinya.

Mungkin karena cuaca yang kurang bersahabat orang jadi malas untuk keluar rumah, malam itu yang tadarusan Cuma Pak Ustad dan Pak Marhalim. Itu pun tidak lama, jam 10 malam Pak Ustad pamitan sama Udin.

“Din, hati-hati ya…,”kata Pak Ustad sambil meletakkan Al-Quran yang baru dibacanya di rak buku mushola, “Saya mau pulang duluan, harus tidur cukup malam ini. Besok mau pergi ke kota.”

“Ya, Pak Ustad,” balas Udin.

Pak Ustad beranjak dari mushola diikuti oleh Pak Marhalim tidak berapa lama kemudian. Alasannya banyak nyamuk, tidak tahan katanya.

Cuaca dan udara pun terasa dingin. Suasana semakin sepi, tidak terdengar lagi orang yang mengaji di mushola. Udin sendirian sekarang. Tubuh anak umur 12 tahun itu pun bersiap tidur. Malam itu nyamuk sepertinya terbangun semua akibat datangnya hujan. Udin menggelar tikar, lalu menyiapkan obat nyamuk yang memang tersedia di sana.

Asap obat nyamuk mengepul memenuhi ruangan mushola tidak begitu besar tersebut. Aman sudah, nyamuknya pasti pada mabuk.

Udin menggelar tikar di samping obat nyamuk yang mengepul menebarkan wangi harum di hidung Udin. Dia bersiap tidur. Kepala direbahkan di tikar, tubuhnya meringkuk di balik sarung yang dia jadikan selimut. Lumayan untuk mengurangi rasa dingin yang cukup menusuk tulang.

Malam berlalu terasa begitu cepat, Udin merasakan kehangatan di badannya. Apa aku kesiangan sampai-sampai orang sholat subuh pun tidak bangun? Udin berpikir apa yang dirasakannya akibat dari sengatan matahari pagi yang masuk ke mushola. Dia bangun, namun apa yang dilihatnya adalah sesuatu yang tidak dia perkirakan sebelumnya….

“Astagfirulloh….!” Teriak Udin. Papan mushola terbakar, rak buku sudah terbakar, belum lagi dinding yang terbuat dari triplek tipis itu sudah mulai digerogoti api. Udin baru tersadar, sumber api ternyata dari obat nyamuk yang dia bakar. Ya, udin menyalakan obat nyamuk dengan beralaskan selembar kertas koran yang kemudian terbakar, kemudian merembet ke mana-mana. Rak buku sudah mulai hilang dilalap oleh api yang semakin membesar. Teriakan minta tolong Udin di keheningan malam seakan sirna tertelan oleh kerasnya suara guyuran air hujan. Sia-sia dan tidak ada artinya. Semua orang sedang asik dengan mimpinya masing-masing. Kalaupun mereka terjaga, paling yang terdengar hanya suara air hujan dan bunyi petir yang keras menggelegar di langit.

Segala usaha dilakukan oleh anak kecil itu untuk memadamkan api, tidak ada hasilnya. Udin keluar dari mushola sambil menangis menyaksikan mushola yang mulai habis dimakan api. Hujan deras pun sepertinya tidak bisa melawan besarnya kobaran api.

Saat subuh tiba gerimis masih menyirami bumi, orang mulai berdatangan untuk sholat subuh. Mereka baru tahu kalau mushola kampung sudah terbakar jadi abu. Yang tersisa hanya seorang anak kecil yang terbujur lemah di halaman mushola yang becek. Tubuhnya basah dan kotor, wajahnya merautkan kesedihan yang sangat mendalam. Menangis sejadi-jadinya. Semua sudah mencoba menenangkannya, termasuk Pak Ustad. Tapi tidak ada yang berhasil.

Sejak kejadian itu, Udin sering melamun dipenuhi perasaan bersalah. Mushola terbakar karena dirinya, karena obat nyamuk yang dia bakar.

Perlahan dan semakin lama Udin sering menangis sendiri, kadang dia membakar sesuatu di halaman, setelah itu dia sibuk sambil teriak untuk memadamkannya. Kejadian itu terus berulang, Udin sering membakar dan memadamkannya sendiri, kadang sibuk mencari air ataupun apa saja yang bisa memadamkan api yang dia bakar. Padahal sebetulnya yang dia bakar itu hanya selembar kertas Koran, tapi dia sibuknya bukan main, belum lagi teriakannya yang keras meminta tolong pada orang. “Kebakaran…kebakaran…tolong…!” teriak udin.

Beberapa puluh tahun kemudian, di kampung itu sudah berdiri sebuah bangunan mesjid yang cukup megah dan besar, posisinya tepat berada di lahan bekas mushola dulu. Sementara di sisi lain, sering terlihat laki-laki dewasa yang suka berteriak-teriak sambil membakar sesuatu, orang sekampung sekarang memanggilnya Udin Stress.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline