Lihat ke Halaman Asli

MBudiawan

Indahnya Alam Papua

Katanya Rambut Hitam Keriting Lurus, Aku Papua, Tapi Kenapa Saya Dianggap Pendatang?

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ Kalau Papua merdeka kita usir semua pendatang kecuali orang Toraja seperti kamu” kata Fredy. Kondisinya dalam kedaan setengah mabuk dipengaruhi oleh minuman sopi yang kami beli.

“ Maksudnya,  orang Jawa kamu usir juga?” tampaknya Jono tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh Fredy. Jono yang berdarah  Jawa, namun sama seperti saya terlahir di tanah Papua.

“ Ya, semua orang Jawa kita usir. Semua orang rambut lurus kita suruh pulang. Kecuali kamu, kamu tetap tinggal” balas Fredy.

“ Begitu dong….” Jono senang mendengarnya, dia pun jadi bersemangat lagi untuk minum, “ Tos!”

Saat ngumpul malam hari sering ditemani oleh  mimuman khas Papua seperti Sopi, kebiasaan seperti itu sudah lajim dilingkungan kami. Hanya saja  Fredy yang paling parah, omongannya kadang  ngawur kadang juga berteriak-teriak. Kalau sudah mabuk berat seperti itu dia sering tidak bisa mengontrol diri.

Dengan  terpaksa saya meneguk sedikit minuman yang dibagikan hanya sebagai syarat. Sebenarnya saya sudah lama meninggalkan yang namanya minuman beralkohol, tepatnya sejak mulai kuliah di Malang. Orang tua saya pun melarangnya, tapi  kadang semua sering kalah oleh urusan persahabatan.

Ya, pada saat Pilpres kemarin saya pulang ke Muting untuk nyoblos, lagian kuliah di Malang sudah selesai tinggal menunggu waktu wisuda saja. Terdengar gembar-gembor jika Jokowi jadi Presiden, maka Papua akan merdeka, Papua bisa mengadakan Referendum.  Itu yang disampaikan oleh mereka yang jadi team pemenangan Jokowi-JK. Makanya kebanyakan penduduk  setempat lebih banyak memilih Jokowi selain kerena trauma dengan TNI.

Mereka banyak yang termakan oleh janji-janji kosong segelintir orang. Jokowi itu lembek, kita bisa meminta referendum. Sepertinya tidak semudah itu, Aceh saja yang sampai berdarah-darah tetap  tidak bisa memisahkan diri.

“ Kita ambil lagi tanah-tanah kita yang diambil pendatang. Aset-aset perusahaan harus diserahkan kepada kita” ujar Fredy lagi meracau.

“ Aku mau ambil rumahnya Pak Haji Hasan. Tidak boleh diambil sama orang lain” kata Sefnat. Haji  Hasan yang orang Makasar itu seorang pedagang sukses, rumahnya memang paling besar di kampung kami.

“ Kasih tanda di depan rumahnya. Kamu kasih tulisah saja, ini rumah milik Sefnat…” Fredy memberikan saran.

“ Ya, ya…nanti kita tunggu saja tanggal mainnya setelah Pilpres selesai” ujarnya sambil minum sopi dari gelas plastik bekas air mineral.

Pilpres telah lewat, sudah terbayang siapa pemenangnya, mudah-mudahan saja apa yang dibilang Papua Merdeka itu tidak terbukti, tidak ada pengusiran bagi orang-orang seperti saya. Kalaupun di usir kami akan mati-matian mempertahankan diri, habis mau pergi kemana? Ke kampung nenek moyang kami di Toraja?  Atau seperti keluarga Jono harus mengungsi ke Pulau Jawa?  Kesana saja kayaknya mereka belum pernah.  Kami semua lebih mengenal Papua, tempat kami lahir dan dibesarkan.

Saya lahir dan besar di Tanah Papua, orang tuapun lahir disana, tapi kenapa sampai sekarang kawan-kawan masih menyebut saya orang pendatang atau kadang menyebut saya ini rambut lurus. Padahal tempat itu adalah kampung saya, tempat tumpah darah saya. Selama di Malang, setiap ada yang bertanya dari mana asal saya, selalu saya katakan saya orang Papua. Saya bangga telahir disana, apa lagi kalau mengingat keindahan alamnya. Selalu rindu untuk bisa kembali kesana,  suatu saat nanti mau mengabdi disana, mau membangun Papua. Saya tidak ingin jadi pegawai negeri seperti kawan-kawan yang kebanyakan bercita-cita penjadi seorang PNS. Makanya kebanyakan jurusan yang diambil mereka pun jurusan Admintrasi atau Kepemerintahan. Katanya enak jadi pegawai, semuanya terjamin. Apalagi di Papua anggaran daerahnya sangat besar.

Dari dulu Papua sudah merdeka, kalau bilang kita belum merdeka tidak sepenuhnya benar. Mungkin kalau dilihat dari segi ekonomi dan pendidikan, ya.  Papua masih belum merdeka. Papua yang kaya dengan sumber daya alam itu masih miskin, belum terlihat pembangunan seperti di pulau lainnya di Negara ini. Kemana larinya semua itu?  Masih banyak orang Papua yang miskin dengan ilmu, mereka butuh tempat dan pendidikan yang lebih layak. Tidak  seperti sekarang, hanya mereka-mereka yang punya jabatan saja yang bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bahkan sampai mendapatkan beasiswa ke luar negeri.

Jadi kekayaan Papua ini bisa dinikmati oleh semua orang Papua, bukan hanya oleh segelintir orang yang punya kekuasaan saja.

Semoga kedepannya tidak ada lagi teriakan dan keinginan untuk Merdeka memisahkan diri dari NKRI.

Bulan depan saya akan di wisuda, saya sudah lulus kuliah di Malang. Dengan keyakinan kuat, akan pulang kembali ke Papua, ke kampung di Muting. Disana banyak yang bisa saya kembangkan untuk membangun Desa saya.

Rambut hitam, keriting lurus aku Papua bisa menjadi kenyataan, saya tidak lagi  dianggap orang  pendatang, Saya Juga Orang Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline