Lihat ke Halaman Asli

82 Tahun PSSI dan Rekonsiliasi ala Mancini-Tevez

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Selamat siang sodara-sodara sebangsa dan setanah air, siang ini 18 April 2012, hari yang sangat panas, sepanas gejolak yang terjadi di persepakbolaan nasional jelang perayaan 82 tahun PSSI yang jatuh pada hari Kamis, 19 April 2012. Setahun yang lalu, saya yang pada saat itu menyoroti kengototan Kelompok-78 untuk menjagokan George Toisutta dan Arifin Panigoro sebagai pasangan ketum/waketum PSSI, sebagai tema perayaan 81 tahun PSSI (selengkapnya baca: Sudahlah, Pak George).

Dan hasilnya pun sudah dapat kita simak, bahwasanya K-78 yang pada saat itu mendirikan KPPN (Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional) keberadaannya tak diakui oleh FIFA. KPPN yang sudah membentuk komite pemilihan dan komite banding untuk menggelar pemilihan ketum/waketum/exco, tak diakomodinir oleh FIFA. Karna apa? Jelas, dalam sebuah KLB seharusnya yang mengambil peranan adalah dari FIFA, bukan dari salah satu kubu yang berseteru. Maka dari itu FIFA kemudian membentuk Komite Normalisasi untuk menyelenggarakan pemilihan pada KLB dan mengakomodasi breakaway league (LPI) agar dapat dibawa dibawah kendali federasi (PSSI).

Kini, jelang usia PSSI yang ke-82 tahun, kisruh berkepanjangan seolah enggan lepas menaungi keberadaan federasi sepakbola kita ini dengan segala gonjang-ganjingnya. Dalam perkembangan aktual dan faktual, FIFA telah memberikan batas waktu hingga 15 Juni 2012 bagi PSSI untuk menyelesaikan dualisme liga yang kini masih saja terjadi. Ingat, dualisme liga, bukan dualisme klub atau dualisme kepengurusan. Karena sebenarnya bila dualisme klub, bisa dilihat dari aspek badan hukumnya yang bisa diperdebatkan di kemenkumham. Sedangkan kepengurusan, jelas tak ada dualisme disini, karena kubu La Nyalla Matalitti yang mengklaim mendapat dukungan 2/3 anggota PSSI ternyata kepemimpinannya adalah cacat hukum serta tidak mendapatkan legitimasi dari federasi diatasnya (AFC dan FIFA).

Rekonsiliasi yang jalan di tempat

FIFA tentunya sudah berbesar kesempatan dal menyikapi kisruh sepakbola Indonesia ini, bila tak memandang bahwa Indonesia adalah pangsa pasar yang cukup potensial bagi dunia sepakbola, mungkin sudah sedari tahun kemarin persepakbolaan kita mendapat sanksi dari FIFA. Hal lainnya, mungkin FIFA juga menyadari bahwa Indonesia sebenarnya mampu berbicara dengan prestasi di kancah internasional, mengingat negeri besar yang dihuni oleh penduduk tak kurang dari 230 juta jiwa ini sebagian besar masyarakatnya adalah penggila bola. Entah itu di stadion, di tempat kerja, di warung-warung, di perkumpulan massa, atau bahkan di dunia maya pun banyak yang memperbincangkan mengenai sepakbola, baik itu sepakbola dalam negeri maupun sepakbola mancanegara.

FIFA tentunya juga jelas menyayangkan adanya liga tandingan yang digelar oleh PT LI sekarang ini, karna sudah jelas bahwasanya pengelolaan liga memang seharusnya dikerjakan oleh federasi negara yang bersangkutan, terkecuali federasi sepakbola yang bersangkutan membuka tender atas pengelolaan liga, itupun tetap harus ada pertanggung-jawaban pemenang tender pengelolaan liga kepada federasinya. Rekonsiliasi yang didengungkan FIFA kepada PSSI untuk kembali merangkul klub-klub untuk kembali dibawah kendali PSSI, ternyata hanya dianggap angin lalu yang usang begitu saja oleh para kubu pembangkang. Tak hanya para pengurus yang terang-terangan menolak rekonsiliasi yang ditawarkan oleh PSSI, namun para sup[orter klub yang berlaga di ISL pun juga terjerembab ikut masuk dalam pusara pembangkangan ini. Seperti yang kemarin bisa kita saksikan, tiap laga di ISL banyak yang diwarnai oleh banner provokasi yang menyatakan menolak rekonsiliasi. Apakah ada hubungannya antara banner “tolak rekonsiliasi” ini dengan banner politis yang pernah terpasang di Bukit Jalil dan Gelora Bung Karno saat final Piala AFF 2010 lalu? Entahlah, yang jelas persamaannya adalah banner tersebut merupakan KIRIMAN dari “big hand” di Indonesia ini. Bahkan pihak suporter yang mengusung banner “tolak rekonsiliasi” tersebut memang mengakuinya bahwa banner tersebut kiriman dari pihak lain (yg disembahnya, gitu aja koq pura-pura malu).

Rekonsiliasi ala Roberto Mancini dan Carlos Tevez

Tim papan atas di Liga Inggris, Manchester City yang belakangan tergusur dari penguasa klasemen sementara, beberapa waktu lalu dipusingkan oleh timpangnya lini depan karena permasalahan dengan Mario Balotelli. Dari sikap arogan, hingga kedisiplinan yang dinilai mengganggu kinerja tim, akhirnya sang manajer, Roberto Mancini memutuskan untuk kembali melirik striker yang telah lama dilupakannya sejak awal musim. Yak anda benar, Carlos Tevez. Gayung pun bersambut, dengan melupakan ego masing-masing dan saling berjuang demi mengejar ketertinggalan dari rekan sekota (MU) yang jadi pemuncak klasemen, akhirnya Carlos Tevez menunjukkan jiwa petarungnya untuk membawa The Citizen jadi lebih baik.

Saat bertandang ke markas Norwich City, Carlos Tevez tampil “menggila” dengan penampilan yang memukau, sekaligus sebagai ajang pembuktian kepada sang manajer, bahwa dirinya tetap bisa mempersembahkan yang terbaik bagi Manchester City. Hattrick Carlos Tevez pun kemudian seolah menjadi sorotan utama  kemenangan timnya atas tuan rumah Norwich City dengan skor yangt cukup telak, 1-6. Dengan hasil tersebut, apakah dengan mudahnya Roberto Mancini akan langsung melupakan Mario Balotelli? Tentu saja bila Mancini sadar bahwa pilihannya kini bukan untuk memilih apakah  dirinya menyukai Tevez atau Balotelli, karna dirinya sadar bahwa ada hal yang jauh lebih besar dan lebih penting dari pilihan Tevez/Balotelli, yakni memburu kemenangan demi kemenangan guna mempertahankan kans-nya menjadi juara di akhir musim kompetisi. Jadi jelaslah, pertanyaan yang ditujukan kepada Mancini yang berupa pilihan “Tevez/Balotelli” tak akan terjawab oleh sang manajer asal Italia ini.

Belajar menatap masa depan

PSSI yang sudah semakin tua, sudah seharusnya mulai bekerja keras membangun sebuah sistem yang terencana untuk program prestasi Indonesia. Terlalu banyak hal-hal negatif di persepakbolaan kita dalam kurun satu dekade terakhir, sudah saatnya kita bersama-sama membangun kejayaan sepakbola Indonesia. Program-program populer seperti pembinaan usia muda, kompetisi berjenjang, dan akademi nusantara, adalah hal-hal vital yang harus difokuskan demi terciptanya timnas yang tangguh, baik secara fisik, skill, maupun mental. Maka dari itu, tak heran beberapa hari yang lalu ada sekelompok suporter yang Pro-PSSI mengadakan demo simpatik yang menyampaikan kritik dan teguran kepada PSSI dengan tema “URUSILAH PEMBINAAN PEMAIN MUDA, JANGAN TERFOKUS PADA KONFLIK”.

{[P.S.K]}




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline