Lihat ke Halaman Asli

Rencana Pembuatan Perda Mengenai Larangan Berburu Burung dan Kroto, Menuai Protes Keras

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana Pemkab Karanganyar untuk membuat Perda yang mengatur larangan perburuan burung dan kroto (telur/larva semut) menuai protes keras dari beberapa kalangan, entah Perda ini adalah langkah maju atau sebuah pemikiran sempit dalam menyikapi merebaknya wabah ulat bulu yang terjadi akhir-akhir ini terjadi di sebagian pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Kemarin (27/4) Pemkab Karanganyar telah mengeluarkan Surat Edaran yang berisikan larangan penangkapan burung dan kroto. Di satu sisi hal tersebut adalah wujud kepedulian terhadap alam, namun di sisi lain seolah menelan mentah-mentah penyebab wabah ulat bulu dan mengkambinghitamkan para pemburu burung dan kroto.

"Burung dan semut rangrang merupakan predator utama ulat bulu. Maka dengan adanya larangan berburu tersebut bisa menghambat perkembangan ulat bulu tersebut," kata Rina Iriani SR, bupati Karanganyar (bisnis-jateng.com 26/4)

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada para camat hingga kepala desa se-kabupaten Karanganyar dan harus disosialisasikan kepada warga, karena nantinya Surat Edaran mengenai larangan berburu tersebut tetap akan di-Perdakan. Rina menegaskan bahwa pelarangan berburu ini berlaku untuk segala macam alat seperti senapan angin, ketapel, pulut (jebakan), maupun jaring. Jadi, diharapkan masyarakat mau berpartisipasi dengan cara menegur atau menindak bila menemui hal tersebut karena sudah ada dasarnya.

Kebijakan ini pun menuai protes keras dari berbagai pihak, terutama kalangan pecinta burung. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa Bupati hanya mengkambinghitamkan para kicau mania, tanpa memberikan solusi yang jelas. Bila ditelisik lebih jauh, dari sebagian besar jenis burung berkicau yang jadi primadona di kalangan kicau mania maupun pedagang burung, tak ada yang mau mengkonsumsi ulat bulu. Untuk burung jenis tertentu pengkonsumsi ulat pun bukan sembarang ulat yang mau dikonsumsi sebagai pakan, melainkan hanya mau dengan sejenis ulat tak berbulu yang masyarakat sering menyebutnya dengan nama "uler hongkong".

Belum adanya penjelasan yang tepat tentang korelasi antara ulat bulu dengan burung dan semut pun banyak disayangkan berbagai pihak, karena mereka beranggapan sangat salah bila menyama-ratakan bahwa semua burung adalah predator ulat bulu. Belum lagi dari faktor sosial ekonomi masyarakat pelaku usaha di bidang unggas ini, belum atau bahkan tak ada satupun solusi yang diberikan oleh pihak terkait. Kalangan yang kontra terhadap kebijakan ini pun sepertinya malah menggunakan hal ini sebagai serangan balik dengan menyoroti tentang pembangunan yang tak terkendali hingga mengabaikan dampak terhadap lingkungan seperti pembangunan pabrik, alih fungsi lahan hijau menjadi perumahan, dan yang lainnya.

Semoga saja kecaman dari berbagai pihak ini menjadi bahan pertimbangan pihak Pemkab untuk lebih banyak memandang dari berbagai sisi untuk membuat kebijakan. Seandainya hal ini menjadi pilihan terakhir yang tak bisa ditawar lagi, alangkah bijaknya bila juga memberikan solusi alternatif bagi pihak-pihak terkait yang akan menanggung dampak dari kebijakan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline