Aku menuju Gunung Salak, begitu turun dari mobil, udara sangat dingin, seluruh badanku menggigil. Ditambah keadaan fisik tidak fit. Kulepaskan alas kaki, kupijakkan pada rumput-rumput berembun, mohon kehangatan bumi, menyatu dalam hidupku. Setelah menyalakan wewangian dan taburan bunga, aku duduk khusuk, ingin mendengarkan suaraNya. Ingin menikmati cahayaNya dalam sunyi tengah malam. Kutengadahkan wajah, memandang langit berhias bulan bundar dilingkari cahaya kalangan, kata parasepuh leluhur manusia Jawa, apabila Bulan diliputi Cahaya Kalangan, maka akan terjadi banyak musibah rumah tangga. Isteri minggat, suami tak pulang, anak-anak meninggalkan orangtua mereka.... Kembali aku bersimpuh dan merunduk, seekor kera putih melompat, bertengger di sisi Sanggah Candi Kiri, seolah menikmati wewangian yang kami tebarkan. Empat monyet abu-abu besar lebih kecil dari ukuran monyet besar, juga menempati masing-masing Sanggah yang ada. Batara Dharma meringkuk tepat di depanku memberi hawa hangat yang menjalar ke ujung lututku. Turut hening mengembuskan puja-puji pada Sang Hyang Widhi.... Cahaya suci itu... masih ada, terus hadir di diri ini... sehingga sinar kegelapan berlari... menjauh dari siapa pun yang mau menyucikan diri setiap bersunyi. "Kaulah pamungkas yang sampai di sini untuk menyampaikan puja-puji setelah mereka yang menghujat dengan sumpah serapah," dahiku berembun bukan kabut dingin, tapi peluh yang menembus pori-pori tubuh. Aku terus bersyukur hingga teriakan dan jeritan Kakaktua, burung hantu serta satwa Gunung Salak yang terus menyapa menyongsong fajar tiba.
Gunung Salak, November 9, 2011 00-04.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H