Lihat ke Halaman Asli

Beno dan Mesin

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

BENO DAN MESIN

Ini malam, Sabtu 15 Januari 2011, aku keluar rumah. Udara dingin sungguh menggigit, lalu embusan angin menusuk belulang nan tua. Langit menampilkan rembulan dengan hiasan hallonya. Diwarnai emas awan putih tembaga. Kutak hiraukan gemintang sebab tenggelam di lubuk awan hitam. Gemuruh berkepanjangan memenuhi area gendang telinga.

Waktu ku kecil, bulan Januari akan dihiasi dengan embusan angin barat yang tidak henti-henti melengkapi percikan hujan sepanjang waktu, hari dan bulan musim. Musim penghujan dimulai akhir Oktober, bisa terus menerus hingga bulan Maret. Musim penghujan yang mendatangkan air bah, tidak ada tempat tersisa oleh jamahan air. Bahkan di kolong tempatku tidur pun muncul sumber mata air.

Kali Gelis, adalah aliran sungai besar hujan yang berhulu dari Puncak Saptorenggo Bukit Muria, di mana akan menjadi deras alirannya. Air pun coklat bercampur tanah. Gemuruh suaranya bagaikan amuk naga. Demikian pula gelegak dan gelombang aliran airnya menuju muaranya di mulut Laut Jawa Utara.

Di sini, sudut Ibu Kota, juga terdengar gemuruh, bukan Beno di Kali Gelis, akan tetapi deru debu gemuruh mesin aneka kendaraan bermotor yang lalang lalu sepanjang waktu.

Aku tersenyum. Getir, mungkin pedih. Beno dan Mesin menghasilkan gemuruh serupa walaupun tidak sama. Gemuruh Beno menyihir siapa pun dalam rongga ketakutan. Gelegak Mesin deru menderu menimbulkan kecemasan tiada henti Kota Jakarta.

Genap delapan belas tahun kujinakkan Sang Ibu agar menaungiku dalam pelukannya. Apa pun situasi dan kondisinya Sang Ibu adalah kenyamanan hingga kukatakan dengan pasti, tempat paling pas buatku memang Jakarta.

Aku tidak pernah mengeluh tentang Ibu Kota kecuali awal pertama masuk dengan bau busuk menusuk sampai sesak napasku.

Bayangan gemerlap Jakarta semula dari desa jauh di depan mata. Comberan, selokan berbau tai bebusukan mewarnai sisi trotoar. Aku bernapas pun tidak kubiarkan ke paru-paru, takut terpolusi bau-bauan itu nan mengusik kenyamananku.

Bau-bau busuk plus tai akhirnya menyatu di hidupku, bahwa segalanya bisa diselaraskan, termasuk gundukan sampah dan kepulan asap pembakarnya.

Raungan bajaj tiap saat, lolongan anjing berebut tulang, jeritan kucing jantan berebut betina… lengkap melengkapi warna Sang Ibu Kota.

Di tengah busuk suasana Kemayoran, aku langsung kaya-raya, sebab seluruh tulisanku dari desa hampir tiap hari mewarnai aneka media. Dari berak sampai telentang dengkuran di sela mimpi, menghadirkan penghasilan gemilang. Menangis, ketawa, menjerit, bahkan kentut… bisa jadi uang.

Untuk buang tai yang banyak harus makan banyak pula. Demikian kiasan Sang Hamsat Rangkuti menginspirasi agar kutemukan pengayaan diri.

Aku tidak sendiri… dulur, teman, tetangga semakin pikuk menghampiri karena aku jadi seniman sejati. Bukan penampilanku, tapi karya-karya nyentrikku. Teman-teman seniman sering mencemoohkan diriku, karena pantasnya aku jadi seorang guru.

Aku bercermin, memang masih ngganteng dan terlalu klimis penampilanku. Tapi satu hal dalam hidupku kian membentukku… menjadi seniman bukanlah penampilan, tetapi setiap karya intens yang beda serta manfaat bagi penikmatnya.

Aku… hingga kini… tetap akrab dengan gemuruh Beno Kali Gelis, karena di Ibu Kota pun tak henti dari gemuruh Mesin Mesin.

Beno di desa Mesin di kota… ternyata bersenyawa untuk terus menghadirkan suatu karya yang akan bilang, diriku masih ada walau tidak mengemuka.

Kampung Asem, Minggu 00:34 16 Januari 2011

Buanergis Muryono, yang sering dibilang edan sama teman-teman.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline