Lihat ke Halaman Asli

Pucung= Pocong= Pack= Bungkus= Buntel

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PUCUNG

Pucung = Pocong = Bungkus = Buntel = Pack

Diapakan ketika jasad rusak terlepas dari ruhnya? Dipucung, dipocong dengan selembar kain kafan. Mengenakan sendiri pun tidak mampu. Tapi hampir seluruh leluhurku meninggalnya sangat unik. Para kakek, simbah buyutku kalau meninggal sudah siap terlebih dahulu. Biasanya sudah nglakoni empat puluh hari empat puluh malam menyongsong hari akhir pelepasan wadag. Parasepuh kami selalu weruh sadurunging winarah kapan hari puput dan naas kematian. Parasepuh kami selalu berpesan, meminta kami bersiap-siap karena akan mendapat tamu banyak. Penganut Kristen dan Khatolik di keluarga kami biasanya sudah mandi besar lalu mengenakan setelan jas, mengenakan minyak wangi dari ujung kaki sampai ujung rambut. Lalu bersidekap dengan wajah penuh senyum berbaring seperti orang tidur. Para penganut Islam, sudah berbaring berselimut kain kafan. Pengikut setia Hindu Budha juga sama, sudah mempersiapkan diri melepaskan wadag rusak. Paling muda dari keluarga kami ketika meninggal berusia 102 tahun. Salah seorang simbah kakung saya ini topo wadat, tidak menikah sampai wafat. Makamnya hingga sekarang diziarahi orang-orang dari seluruh penjuru dunia, ada di sebuah gunung tertinggi di Jawa Tengah bagian utara. Aku sebagai saksi pemakaman beliau, karena sebelum wafat aku menungguinya. Kepadaku banyak diajarkan tentang Kaweruh Kejawen. “Ojo nganggep Mbahmu mati. Simbah bebarengan karo kowe selawase!” begitu tutur akhir untukku, yang maksudnya bahwa beliau memintaku tidak menganggapnya mati. Dia berjanji akan bersamaku selamanya.

Bukti kekekalan dan keabadian ucapan beliau adalah yang saudaraku baca saat ini, di mana dan apa makna Tembang Pucung bagi masyarakat Jawa. Setiap manusia akan dipucung, dipocong, baru kemudian dimakamkan. Dipocong dan dimakamkan orang lain, kecuali salah seorang saudara simbahku, kakak ketiganya, yang menguburkan dirinya sendiri karena mempersiapkan seluruh pemakamannya sendiri. Sekali lagi, aku hanya sebagai saksi kewaskitaan mereka. Kelima sedulur simbahku, nampaknya ditakdirkan melengkapi seorang dengan lainnya memberikan kaweruh urip dalam hidupku. Jadi kalau pesan-pesan beliau itu tidak kutulis dan sampaikan, pasti mereka tidak memaafkanku.

Jangan sewenang-wenang selama hidup, kalau mati tidak membawa apa-apa seperti waktu dilahirkan. “Mangertiyo sajroning urip yo mung sariro kang maringi pitulungan tumraping pepadhanging pasuryan. Ora ono wadi sajroning uripmu yen kowe weruh sariraning pribadi!” nasihat beliau diakhiri dengan tembang Pucung, aku mengikutinya sampai terlihat cahaya benderang di ufuk timur, dan kami segera bangkit memanggul cangkul, menjinjing sabit menuju ke sawah sepetak kami, menjaga dan mengolahnya agar tetap subur.

Buanergis Muryono, Kebon Pala, Kamis 18 Maret 2010 3:20 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline