Lihat ke Halaman Asli

Megatruh = Megat Ruh = Melepas Nyawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MEGATRUH

Megat Ruh

Maksudnya adalah putusnya tubuh rohani dengan tubuh jasmani sehingga manusia tidak berjiwa lagi alias mati wadag. Karena wadag atau badan rusak, membuat ruh atau tubuh rohani ini harus meninggalkannya serta mencari media lainnya.

Perginya tubuh rohani, ruh, dari jasad rusak, akan mencari tempat paling tepat bagi dirinya. Bagi yang sudah menguasai Sariraning Pribadi (sarira), maka akan memilih media yang dikehendaki (inkarnasi); tetapi bagi yang belum tahu sarira, jelas kelompok ini akan mengikuti karma dan hukum reinkarnasi, nempel, lahir, tumibo di tempat yang sanggup ditempati, sehingga muncullah istilah pohon keramat, tempat keramat, batu keramat, karena ditinggali, ditempati, ditunggui roh-roh yang tidak tahu sarira tersebut.

Bagi yang sudah paham dan menguasai sarira, maka mendapat kekuatan dan keistimewaan hidup abadi, tidak mati. Ketika jasadnya rusak bisa memilih jasad atau wujud yang dikehendaki supaya bersenyawa dan berjiwa supaya memperpanjang hidup. Lahirlah Pendeta Cilik, Kyai Cilik, Dai Cilik, Dukun Cilik, serta manusia-manusia super lainnya. Dalai Lama Cilik juga perwujudan inkarnasi. Dalai Lama memilih tempat yang paling cocok bagi dirinya dalam bentuk, wujud, tempat baru.

Orang Jawa mengenal benar, sehingga melahirkan karya adiluhung berupa Tembang Megatruh atau Megat Ruh tersebut. Disampaikan dengan tembang sehingga dapat didengar, dirasakan, dinikmati sangat nyaman sampai ke pusat jiwa. Tembang-tembang Megatruh ini didendangkan tatkala manusia menjelang ajal dan melepaskan jasad atau wadag atau tubuh fananya.

Ke mana ruh manusia Jawa waskita tersebut? Jelas sekali akan memilih, tumitis dalam sosok baru. Jangan heran apabila banyak ‘orang pintar’ di bumi Jawa, bahkan sampai duduk sebagai Presiden Komisaris Bank Dunia. Tiap Negara juga ada orang Jawanya sebagai staf ahli. Silahkan kros cek.

Manusia-manusia Jawa yang mencicipi, mengamalkan ajaran Jawa (Kejawen) mereka sebagai manusia-manusia bijak dan arif. Segala ucapan dan tindakannya bisa dinikmati, menjadi teladan sesama. Di sini pula, ingin penulis luruskan tentang pengertian Kejawen, yaitu paham, ajaran, didikan sehingga seorang manusia memiliki budi pekerti luhur, sampurnaning ngaurip karena ‘weruh sariraning pribadi’.

Berbahagialah yang sudah paham, tahu, mengerti, memahami, menghayati, dan mengamalkan sebelas tembang Jawa. Bagi yang belum, tentunya masih ada waktu buat mempelajarinya. Tidak ada kata terlambat! Kapan waktunya? Sekarang memulai begitu mengakhiri baca tulisan ini! Sekarang! Jangan tunda besok, hari esok memiliki kesusahannya sendiri.

Buanergis Muryono, Kebon Pala, Kamis 18 Maret 2010 2:57 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline