Lihat ke Halaman Asli

Dunia Tanpa Suara Mia Nurkanti

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada yang istimewa dari penampilan Mia Nurkanti. Perawakannya kecil. Kulitnya sawo matang. Kerutan mulai terlihat di wajahnya. Penampilannya tidak menunjukkan bahwa ia telah kehilangan pendengarannya.

Mia, 50 tahun, adalah seorang dosen mikrobiologi di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Ia telah mengajar sejak tahun 1986. Menjadi seorang pengajar merupakan impiannya dari kecil. “Sudah menjadi cita-cita ingin menjadi guru dan keinginan ini direstui dan didukung oleh orang tua saya, terutama almarhum ibu”, ujar Mia.

Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sabang 2 Bandung pada tahun 1972. Mia kemudian melanjutkan sekolahnya di SMP RK Providentia. Setelah lulus SMP, ia meneruskan pendidikannya ke SMA 5 Bandung.Pada tahun 1979 ia lulus dari SMA 5 Bandung dan langsung melanjutkan pendidikan ke IKIP Bandung jurusan Pendidikan Biologi.

Pada tahun 1986 Mia diterima menjadi pegawai negeri sipil sebagai tenaga pengajar di Kopertis DPK Unpas Bandung. Pada tahun 1991 ia melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dengan konsentrasi kajian utama mikrobiologi kedokteran dasar. Mia lulus pada tahun 1995 dengan beasiswa BPPS.

Mia menjalani hidupnya dengan biasa saja. Sampai akhirnya ia kehilangan pendengarannya. Penyakitlah yang menyebabkan ia harus kehilangan pendengarannya.

Pada tahun 2000, Mia jatuh sakit. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu pasti penyakit apa yang dideritanya waktu itu. Tahun 2003, kondisinya mulai membaik.

Kurun waktu tahun 2000 – 2003 menjadi masa terberat dalam hidupnya. Mulanya, ia mengidap diare selama enam bulan. Berat badannya sempat turun dari 65 kg menjadi 29 kg. Ia hanya bisa berbaring, tidak bisa berdiri bahkan untuk duduk pun perlu dibantu.

Ditemani suaminya, Dr. Maman Rusmana, M.Pd, Mia berobat ke berbagai dokter dan rumah sakit. Mulai dari rumah sakit Muhammadiyah, rumah sakit Advent, sampai rumah sakit Borromeus. Di rumah sakit Borromeus, ia sempat koma.

Pada saat itu, dokter mengatakan bahwa Mia tidak memiliki harapan hidup, tinggal menunggu keajaiban. “Saya punya perasaan akan meninggal. Jadi saya minta ke suami saya untuk membawa saya ke Garut, kampung halaman suami saya. Biar gampang dikuburkan”, ujar Mia.

Ternyata Tuhan punya kehendak lain. Di Garut, kondisi Mia berangsur membaik. Berat badannya mulai naik. Ia mulai bisa duduk, dan mulai mencoba untuk berdiri dan berjalan. “Seperti anak kecil saja yang baru belajar berjalan”, ujar Mia mengenang masa terberatnya itu.

Mia ingat sekali ucapan dokternya saat itu. “Ibu harus berterimakasih kepada suami ibu. Bukan saya yang mengobati ibu, tapi suami ibu. Suami telaten, suami ibu baik.”,

Namun, kesembuhan Mia bukan tanpa pengorbanan. Pada tahun 2002, ia kehilangan pendengarannya. “Saya sedih, tidak bisa berkomunikasi dengan anak dan keluarga, apalagi dengan orang luar”, ujar Ibu dari Yasundari (Jurnalistik Fikom Unpad) dan Fadila Ramadhini (Manajemen Unpar).

Mia sempat berpikir karirnya sebagai dosen akan terhenti. Namun, dekan saat itu memutuskan agar Mia tetap mengajar. “Siapa tau bisa sembuh, katanya”, ujar Mia.

Dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekatnya, Mia melanjutkan karirnya sebagai dosen. Bahkan, kehilangan pendengaran tidak membuat ia putus asa untuk menuntut ilmu. Ia melanjutkan pendidikan S3 di program studi IPA sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 2007.

Ada satu hari yang tidak akan terlupakan dalam hidup Mia, “Selain ujian promosi doktor, saat itu juga merupakan hari ulang tahun pernikahan ke-24. Hari itu tidak akan terlupakan”, ujar Mia sembari tertawa kecil.

Mia mempersiapkan ujian promosi doktornya dengan baik. “Dari dua minggu sebelumnya, Ibu melakukan simulasi. Ayah jadi pengujinya”, ujar Yasundari.

Persiapan Mia membuahkan hasil. Ia menjawab dengan tenang pertanyaan-pertanyaan dari pengujinya. Walau pun begitu, sering terjadi miskomunikasi antara Mia dan pengujinya. “Ketika penguji melontarkan pertanyaan, beliau membutuhkan waktu cukup lama untuk memahaminya”, ujar Delita, mahasiswi Pendidikan Biologi Unpas yang juga menghadiri sidang ujian doktor Mia.

Suasana haru hadir ketika sidang selesai. “Sulit dibayangkan, seseorang tanpa kemampuan untuk mendengar dapat melakukan penelitian, menyelesaikan studinya. Saya menangis ketika memberikan selamat pada beliau”, ucap Delita.

Sampai saat ini, Mia masih mengajar di Unpas, walaupun dengan keterbatasannya sebagai tunarungu. “Terkadang saya malah lupa kalau saya punya keterbatasan tidak mendengar. Saya ingin disamakan, tidak ingin dikasihani”, ujar Mia.

Walau pun dengan keterbatasan Mia dalam berkomunikasi, kelas tetap berjalan secara interaktif. Pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa dapat dipahami oleh Mia melalui mimik muka dan gerakan bibir. “Seperti beliau, ya katakanlah, memiliki indera yang lengkap. Tetap komunikatif. Namun, memang harus pelan berbicaranya. Kami harus paham dengan kondisi beliau”, ujar Delita.

Cara mengajar Mia pun bisa dikatakan unik. Terkadang, Mia membuat permainan-permainan agar mahasiswa dapat memahami materi perkuliahannya. “Saat mata kuliah anatomi fisiologi tubuh, beliau pernah mengadakan permainan role playing, seperti drama gitu. Waktu itu saya memeragakan mulut. Asik lah belajarnya” tutur Delita bersemangat.

Menurut pakar pendidikan luar biasa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd, pencapaian Mia dirasa biasa saja dibandingkan dengan penderita tunarungu sejak lahir. Mia mendapat kesempatan untuk mempelajari bahasa sebelum ia kehilangan pendengarannya. “Tapi saya salut juga pada ibu Mia. Saya juga merasakan sulitnya menyelesaikan S3, apalagi dengan kondisi seperti itu”, ujar Imas.

Mia hanyalah seorang di antara banyak orang yang memiliki keterbatasan dengan pencapaian yang luar biasa. “Perlu semangat, motivasi, dan dukungan dari lingkungan yang besar bagi mereka (orang-orang dengan keterbatasan) untuk mencapai kesuksesan”, menurut Imas.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline