Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Lima Hari Terpenjara di Belanda

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_129002" align="aligncenter" width="300" caption="Satu kata yang menghantui para penumpang yang terdampar di Schiphol: "CANCELLED" (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Saya memulai hari Rabu, 14 April 2010, dengan hati berbunga-bunga karena hari itu saya akan kembali ke tanah air. Sebetulnya saya selalu merasa tegang jika bepergian seorang diri, apalagi penerbangan Syracuse-Yogyakarta adalah penerbangan yang sangat panjang. Syracuse-Detroit-AMSTERDAM-Kuala Lumpur-Jakarta-Yogyakarta, yang dalam kondisi normal akan memakan waktu hampir 2 hari 2 malam. Maka dari itu semua saya persiapkan dengan sedetail mungkin, semua sudah double (bahkan triple) checked. Cuaca hari Rabu di New York pun sangat cerah dan bersahabat, sehingga saya pikir tidak ada alasan sama sekali untuk khawatir.

Dan memang betul, perjalanan sangat menyenangkan pada awalnya. Proses check in dan pemeriksaan security di airport Syracuse berjalan sangat lancar. Semua barang bisa lewat tanpa masalah, padahal saya membawa beberapa peralatan laboratorium yang tadinya saya khawatir dicurigai sebagai “senjata terorisme model baru”. Apalagi dengan mulai munculnya perempuan-perempuan pelaku aksi bom bunuh diri, saya cukup berdebar-debar waktu kopor saya melewati scanner. Tapi ternyata saya dipersilakan lewat begitu saja, sampai saya merasa bahwa keberuntungan saya sedang besar sekali.

Kegembiraan perjalanan saya mulai terganggu saat di Detroit saya tidak bisa memperoleh print out boarding pass KLM saya untuk Amsterdam-Jakarta. Saya mulai merasa bahwa ada sesuatu yang salah di sini karena biasanya KLM mudah diakses dari semua partnernya dalam connecting flights.

Waktu tiba di bandara Schiphol, gelagat buruk mulai terlihat. Ratusan orang berjejal di loket-loket transfer, di seluruh penjuru terminal. Ini aneh juga, karena biasanya KLM sangat efisien dalam melayani para pelanggannya. Saya tanya petugas di sana, katanya banyak penerbangan dibatalkan karena masalah abu vulkanik letusan gunung. Saya buru-buru cek penerbangan saya ke Jakarta, statusnya di papan informasi tidak dibatalkan. Maka saya mencari mesin cetak boarding pass self-service. Biasanya saya hanya perlu waktu 1-2 menit untuk mencetak boarding pass saya di mesin semacam ini. Tapi kali ini perlu waktu lebih lama dan yang keluar pun cuma selembar kertas konfirmasi booking saya dengan catatan “This is not a boarding pass, see our staff at the transfer desk for assistance”.Duh, saya mulai tegang. Mesin bahkan tidak bisa mengenali paspor saya waktu saya coba lagi di mesin lain. Dengan agak panik saya mencari petugas maskapai di tengah-tengah ratusan penumpang yang semuanya tampak gusar dan jengkel.

[caption id="attachment_129005" align="aligncenter" width="225" caption="Baik penumpang maupun petugas airlines sama-sama panik (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Nah, baru saya tahu. Letusan gunung berapi di Eslandia ternyata mempengaruhi seluruh langit Eropa karena sebaran abunya terbang ke mana-mana. Langit Eropa dinyatakan terlarang untuk penerbangan. Haduh … lalu bagaimana ini? “Apa yang harus saya lakukan?” tanya saya pada si petugas KLM. Dia sama bingungnya dengan saya. “Tidak tahu. Anda harus menunggu penerbangan berikutnya, mungkin”. Lah … “Kapan, besok malam?” … “Maaf Ma’am, saya tidak tahu, mudah-mudahan tidak lama lagi.”

“Tidak lama lagi” itu ternyata menjadi enam hari lima malam. European Union menyatakan langit Eropa tidak aman untuk terbang akibat keberadaan abu vulkanik sehingga seluruh airport di Eropa ditutup sampai dipastikan bahwa kondisi langit sudah normal. Schiphol, yang merupakan salah satu bandara tersibuk di Eropa, jadi seperti barak pengungsian. KLM sebagai maskapai penerbangan yang mendominasi penerbangan dari/melalui/ke Schiphol tentu saja menjadi sangat heboh. Tidak mungkin menginapkan ribuan penumpangnya di hotel, sehingga KLM menyediakan ‘sleeping area’ di salah satu terminal Schiphol. Banyak di antara para penumpang ini tidak memiliki visa Eropa, sehingga tidak bisa keluar dari bandara. Pakaian pun hanya yang melekat di badan karena tidak mungkin mengeluarkan kopor dari baggage hall yang juga sangat kisruh dengan akumulai ribuan kopor dari penerbangan-penerbangan yang di-cancel. Jadilah saya bergabung dengan orang-orang senasib ini. Seperti Tom Hanks di film “Terminal”, maka bandara Schiphol menjadi tempat tinggal kami selama lima malam itu.

Lounge 4 berubah menjadi barak "Global Village" (foto dokumentasi pribadi)

Saya menjelajah Schiphol untuk membunuh waktu dan mencari tempat “ideal” untuk tidur. Walaupun KLM telah berusaha menyediakan lokasi untuk tidur, tetapi bagi makhluk tropis seperti saya, tempat itu sangat dingin sehingga saya tidak bisa tidur sama sekali. Jadi saya berusaha mencari sudut-sudut Schiphol yang cukup hangat. Waktu pertama kali transit di Schiphol beberapa tahun yang lalu, saya merasa bahwa bandara ini luar biasa besarnya. Tapi setelah menginap 5 malam di bandara ini, maka bandara ini jadi terasa kecil sekali. Saya sampai hafal luar kepala toko apa, lounge apa, di gate mana. Saya bahkan tahu juga lounge mana yang dihuni sekeluarga tikus! Tikus-tikus ini tidak berani muncul di siang hari saat lounge ramai, tapi di malam hari mereka berlarian ke sana-ke mari.

Selain menjelajah kesana-kemari, saya juga berburu objek-objek menarik dengan kamera saya sambil mengamati perilaku para sesama tahanan bandara Schiphol. Schiphol betul-betul menjadi sebuah ‘global village’ di mana manusia-manusia dari berbagai ras dan kebangsaan, dengan berbagai latar belakang sosial, semua berada dalam situasi yang sama. Uang, yang biasanya bisa membeli kenyamanan dan prioritas, dalam hal ini tidak ada gunanya. Mau apa dengan uang kalau kenyataannya tidak ada lagi kamar hotel yang bisa dibeli. Semua penuh karena belum tentu sekali dalam seabad ada ratusan ribu orang memerlukan tempat tidur di bandara pada saat yang bersamaan. Apa yang bisa dilakukan dengan uang, jika nyatanya debu vulkanik masih melayang-layang di udara dan tak satu pun airport yang buka. Semua berada pada posisi yang sejajar. Walaupun situasinya sama, tetapi ternyata reaksi orang sangat bervariasi. Berbagai perilaku dan ekspresi para tahanan Schiphol sangat menarik untuk diabadikan.

[caption id="attachment_129012" align="aligncenter" width="225" caption="Belajar tidur di sembarang tempat, dengan berbagai posisi (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129013" align="aligncenter" width="300" caption="Anak-anak selalu ceria dalam kondisi apa pun (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129014" align="aligncenter" width="300" caption="Sekelompok ibu-ibu wisatawan dari Beijing yang staminanya luar biasa dan selalu tampil rapi lengkap dengan make up (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129015" align="aligncenter" width="300" caption="Satu-satunya pria di kelompok ibu-ibu Beijing. Walaupun saya tidak mengerti bahasa Mandarin, tapi dari 'gesture'-nya saya paham si ibu wanti-wanti "Pak, diam di sini, jagain kursi-kursi kita, jangan sampai diduduki orang!!" (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129017" align="aligncenter" width="300" caption="Berharap-harap tiap hari bahwa akan ada flight hari ini ... (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129019" align="aligncenter" width="225" caption="Selimut merah pembagian dari KLM untuk bertahan dalam dinginnya Schiphol (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_129020" align="aligncenter" width="225" caption="Penampilan style 'pejabat' lengkap dengan dasi dan jas, dengan atribut yang mempersatukan seluruh penumpang yang terdampar di Schiphol: selimut merah (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] KLM dan pihak bandara Schiphol melakukan berbagai upaya untuk mengurangi stress para penumpang terdampar yang makin hari tentu makin kelelahan jiwa dan raga. Makanan untuk sarapan, makan siang, dan makan malam disediakan di barak pengungsian. Berbagai hiburan disediakan secara periodik, mulai dari live music, sulap, dan atraksi akrobat. Pada hari kedua, tampak staf dari perwakilan Malaysia, entah dari kedutaan atau konsulat yang berkeliling dengan membawa tulisan “Rakyat Malaysia” untuk menawarkan bantuan kepada warga Malaysia yang tertahan di Schiphol. Saya hanya bisa memandangi mereka dengan rasa iri, sambil mengunyah sandwich dingin dan alot pembagian dari KLM. [caption id="attachment_129022" align="aligncenter" width="300" caption="Hiburan untuk anak-anak, 2 opsi tiap hari, kalau bukan Ice Age pasti Chipmunks (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Pada saat mengalaminya, tentu saja saya sama sekali tidak menikmatinya. Tapi setelah semuanya berlalu, maka harus saya akui, ini adalah pengalaman sekali seumur hidup yang tidak akan pernah terlupakan.

[caption id="attachment_129026" align="aligncenter" width="225" caption="Belum pernah saya merasa sebahagia ini saat pesawat akhirnya take off membawa saya pulang ke Yogya (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline