Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Patriarki di Indonesia : Tantangan Keterwakilan Perempuan dan Polarisasi Gender dalam Politik

Diperbarui: 12 Desember 2024   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara Perempuan Turun ke Jalan (Sumber : Kompaspedia)

Demokrasi ideal seharusnya mencerminkan kesetaraan dan inklusi dari berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk Perempuan (Adeni, 2018). Namun, dalam konteks politik Indonesia, demokrasi masih mengalami tantangan besar terkait keterwakilan gender. Meskipun Indonesia telah mengalami perkembangan dalam aspek demokrasi, Kritik terhadap demokrasi patriarki di Indonesia sangat relevan dengan kenyataan bahwa, meskipun ada kuota gender dalam pemilihan umum, perempuan masih belum sepenuhnya diterima atau didukung oleh partai politik dalam mengisi jabatan-jabatan strategis. Dukungan partai politik terhadap perempuan calon legislatif atau eksekutif masih terbatas, dan ini mencerminkan ketidaksetaraan yang berakar pada budaya politik yang masih kental dengan norma-norma patriarki. Sebagai konsekuensi, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah sering kali kurang responsif terhadap kebutuhan perempuan, terutama terkait isu-isu seperti kesehatan reproduksi, kesetaraan upah, dan kekerasan berbasis gender (Hardjaloka, 2012).

Selain itu, ketidaksetaraan gender ini juga memengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang tidak melibatkan perempuan secara signifikan dianggap tidak lengkap, karena suara dan kebutuhan perempuan sering kali tidak terwakili dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga, struktur politik yang tidak mendukung partisipasi perempuan ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan struktural yang harus diatasi. Dalam hal ini, polarisasi gender tidak hanya merugikan perempuan dari segi representasi politik, tetapi juga memperkuat stereotip dan ketidakadilan yang berdampak pada kebijakan publik. Oleh karena itu, perlunya reformasi politik yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dan inklusi yang lebih besar di dalam pengambilan keputusan politik menjadi fokus penting dalam mewujudkan demokrasi yang lebih adil dan setara.

Penulis akan mengutip kritik yang disampaikan oleh Chusnul Mar’iyah terhadap demokrasi Indonesia yang dianggap masih patriarki menunjukkan keterkaitan yang erat dengan kebijakan polarisasi gender, terutama dalam konteks politik dan representasi perempuan. Polarisasi gender dalam politik Indonesia mencerminkan ketidaksetaraan dalam partisipasi dan pengambilan keputusan, di mana perempuan sering kali tersisih dari proses politik yang penting. Chusnul Mar’iyah menegaskan bahwa demokrasi tanpa keterlibatan perempuan tidaklah lengkap, dan pandangannya ini mengungkapkan bahwa kebijakan yang tidak memperhatikan atau bahkan merugikan perempuan merupakan cerminan dari ketidakadilan struktural yang ada dalam sistem politik.

Chusnul Mar’iyah mengkritik demokrasi Indonesia sebagai patriarki karena, meskipun perempuan merupakan bagian besar dari populasi, representasi mereka dalam politik masih sangat terbatas. Ini terkait langsung dengan polarisasi gender, di mana laki-laki dominan dalam struktur kekuasaan politik dan pengambilan keputusan, sementara perempuan sering kali hanya dilihat sebagai pengikut atau pelengkap. Ketidaksetaraan ini tidak hanya memengaruhi jumlah perempuan dalam politik, tetapi juga mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, yang sering kali kurang sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan perempuan.

Perempuan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari minimnya dukungan partai politik untuk calon perempuan hingga budaya politik yang kerap didominasi oleh laki-laki. Kritik terhadap peningkatan kasus-kasus yang merugikan perempuan tanpa adanya intervensi yang memadai dari pemerintah menguatkan pernyataan bahwa sistem politik Indonesia masih belum mampu melindungi kepentingan perempuan secara menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun ada langkah menuju inklusi gender dalam demokrasi, masih terdapat hambatan-hambatan besar yang disebabkan oleh polarisasi gender.

Kemudian daripada itu, Muhammadiyah mendapatkan peran sentral dalam mengambil peran politik yang lebih besar, khususnya dalam mendorong demokrasi yang lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, dia mengusulkan bentuk demokrasi theistic yang berbasis pada musyawarah, bukan sekadar meniru demokrasi liberal Barat. Demokrasi yang berbasis musyawarah mengandung potensi untuk menjadi lebih inklusif, termasuk dalam melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan.

Pandangan ini dapat dikaitkan dengan upaya mengatasi polarisasi gender, di mana model demokrasi yang lebih mengedepankan konsensus dan musyawarah memungkinkan partisipasi yang lebih luas dari berbagai kelompok, termasuk perempuan. Chusnul menyampaikan bahwa dalam demokrasi yang baik, suara perempuan harus diwakili karena kebijakan negara berdampak pada kehidupan perempuan. Tanpa keterlibatan perempuan, kebijakan-kebijakan tersebut cenderung bias gender, yang kemudian memperkuat ketimpangan yang ada.

Polarisasi gender dalam politik Indonesia dapat menyebabkan kebijakan yang kurang responsif terhadap isu-isu yang memengaruhi perempuan, seperti kesehatan reproduksi, kesetaraan upah, dan kekerasan berbasis gender. Dalam situasi di mana perempuan memiliki keterwakilan yang minim di parlemen dan lembaga eksekutif, kebijakan cenderung dibuat berdasarkan perspektif laki-laki, yang mungkin kurang peka terhadap kebutuhan khusus perempuan. Chusnul Mar’iyah mengusulkan agar kebijakan yang dihasilkan harus mempertimbangkan gabungan ide-ide dari berbagai kelompok, termasuk perempuan, pemuda, dan akademisi. Hal ini berusaha untuk menyeimbangkan pengaruh dan mengurangi dominasi perspektif patriarki dalam pengambilan keputusan politik. Demokrasi yang ideal menurutnya adalah demokrasi yang tidak hanya sekuler tetapi juga mencerminkan nilai-nilai agama, yang dapat digunakan untuk memperkuat keadilan gender melalui prinsip-prinsip kesetaraan dan musyawarah.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait polarisasi gender, di mana perempuan belum mendapatkan representasi yang setara dalam politik. Kritik yang disampaikan menggaris bawahi soal bagaimana demokrasi yang patriarki menghambat partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali kurang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan perempuan. Sistem politik yang didominasi oleh laki-laki ini mencerminkan ketidakadilan struktural yang perlu diatasi melalui reformasi politik yang lebih inklusif.

REFERENSI
Adeni, S., & Harahap, M. A. (2018). Komunikasi politik dan keterwakilan perempuan dalam arena politik. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi Bisnis, 1(2).
Hardjaloka, L. (2012). Potret keterwakilan perempuan dalam wajah politik Indonesia perspektif regulasi dan implementasi. Jurnal Konstitusi, 9(2), 403–430.
UMY. (2016, March). Chusnul Mar’iyah: Demokrasi Tanpa Perempuan Bukanlah Demokrasi. Https://Www.Umy.Ac.Id/Chusnul-Mariyah-Demokrasi-Tanpa-Perempuan-Bukanlah-Demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline