Mentari pagi menyinari hamparan ladang hijau milik Pak Udin di Desa Sukamaju, di sebuah desa subur yang terletak di kaki Gunung Arjuno. Sejak muda, ia mengabdikan hidupnya pada tanah. Setiap hari, Pak Udin meniti pematang sawah dengan cangkul di bahu dan termos kopi hitam di tangan. Aroma tanah yang lembap usai terkena embun selalu membawa rasa damai di hatinya seolah menegaskan bahwa bertani adalah jalan hidupnya.
Namun, hidupnya berubah saat ia memutuskan beralih menggunakan pupuk organik. Keputusan itu muncul usai menghadiri seminar pertanian di kota kecamatan. Salah satu pembicara di seminar itu dengan penuh semangat menyampaikan bahwa pupuk organik adalah kunci untuk menjaga kelestarian tanah.
"Peliharalah tanah kita! Hentikan ketergantungan pada pupuk kimia yang merusak lingkungan," seru pembicara dengan suara lantang, disambut tepuk tangan dari para petani. Gagasan itu langsung memikat hati Pak Udin.
"Kalau ini untuk masa depan anak-cucu, kenapa tidak dicoba?" pikirnya.
Sekembalinya dari seminar, ia membawa beberapa karung pupuk organik yang dipromosikan oleh agen. Pada awalnya, keputusannya terasa tepat. Panen pertama setelah penggunaan pupuk organik membawa hasil yang memuaskan. Bulir padi tampak gemuk, dan tanah di ladangnya terasa lebih subur.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dua musim berikutnya, hasil panennya terus menurun. Daun padi yang biasanya hijau segar berubah kekuningan lebih cepat, dan bulir padi banyak yang kosong. Bahkan, sebagian ladang tampak mengering meskipun sistem irigasinya tetap lancar.
Pada suatu pagi, Pak Udin menyusuri ladangnya dengan perasaan berat. Saat mencoba mencangkul tanah, ia mendapati lapisan bawah tanahnya keras seperti batu.
"Kenapa tanahnya jadi begini? Padahal pupuk ini katanya bagus," gumamnya sambil mengusap peluh.
Kekhawatirannya semakin besar ketika melihat hasil panen tetangganya, Pak Sanusi, yang tetap menggunakan pupuk kimia dan menikmati hasil yang melimpah.
"Udahlah, Din, pakai lagi pupuk kimia. Saya dari dulu pakai itu, hasilnya selalu memuaskan," sindir Pak Sanusi dengan nada mengejek.
Pak Udin merasa tersinggung sekaligus ragu. Namun, ia enggan menyerah. Ia yakin ada masalah yang bisa dipecahkan. Dalam kebingungannya, ia memanggil Pak Bowo, seorang ahli agronomi dari kota untuk memeriksa ladangnya.