Malang -- Komunitas Petjut.id yang dikenal sebagai komunitas perekam gerak budaya melalui narasi, menyelenggarakan acara rutinan tiap tahun yaitu Haul Tokoh yang Terlupakan. Tahun ini merupakan penyelenggaraan haul yang ke-5, tepatnya dilaksanakan pada hari Sabtu, 18 Mei 2024 di Pesantren Budaya Karanggenting. Sunan Malang Sumirang atau sering disebut Sunan Panggung menjadi tokoh yang dipilih untuk dihauli. Tujuan kegiatan ini untuk memperingati, meningat, dan meneladani tokoh yang sudah tiada. Acara yang dipandu oleh Andika Putra diawali dengan tahlil dan doa bersama, pembacaan manakib Sunan Malang Sumirang, pertunjukan puisi oleh Swara Pertiwi, dan diakhiri pidato kebudayaan oleh Irfan Afifi.
Fathul H. Panatapraja, M.Fil., sebagai penyelenggara acara menyampaikan dalam sambutannya bahwa Haul kali ini adalah haul yang tak terduga, karena rencananya tahun ini akan menghauli Mpu Hubayun. Namun, ternyata semesta menunjukkan sosok yang lain. Pemilihan tokoh ini bukan tanpa alasan selorohnya, tetapi dikarenakan munculya peristiwa yang terjadi ketika tiga bulan lalu, saya dicerca habis-habisan di dunia maya oleh beberapa agamawan, bahkan di grup WhatsApp persatuan para agamawan, juga ramai diperbincangkan. Hal tersebut terjadi hanya karena masalah terlampau sepele, menurut saya, yaitu unggahan "Flyer Gebyak Bantengan" yang dimaknai sebagai penganjur jamaah mberot, mengajak dan mengupayakan mabuk-mabukan.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, pada suatu malam Gus Fathul, begitu ia akrab dipanggil, melihat dan bertemu dengan seekor anjing berwarna coklat menyala yang terlihat akan memasuki langgar pesantren namun tiba-tiba berhenti dan terlihat bimbang. Anjing yang belakangan diketahui bernama Temon itu adalah milik salah satu warga sekitar langgar pesantren. Pertemuannya dengan Temon si anjing coklat menyala itu membangkitkan igatannya kepada satu tokoh yang pernah menyelinap pada ruang baca dan cerita yang pernah didengarnya, tokoh tersebut adalah Sunan Malang Sumirang yang memiliki peliharaan dua ekor anjing.
Melanjutkan sambutannya, pria berpenampilan khas rambut gondrong yang kini menjadi Ketua Lesbumi Kota Malang memulai membacakan manakib Sunan Malang Sumirang yang diberi judul "Badal Wali Brandal". Manakib menceritakan sekelumit kisah hidup Sunan Panggung yang merupakan sosok penting dan pernah hadir di dekat jantung kekuatan Islam di Nusantara pada era Walisanga. Sang Sunan hidup di era Demak saat dipimpin oleh Sultan Trenggana. Sosok ini merupakan wali yang secara terang-terangan berani melanggar syariat agama dengan memelihara dua ekor anjing yang sangat setia. Keduanya diberi nama Iman (anjing berwarna hitam) dan Tokid (warnanya kemerah-merahan). Iman dan Tokid sering ikut ke Masjid dan ikut menjadi makmum sholat Jumat bersama Sunan Panggung.
Ringkas cerita dari manakib yang dibacakan, bahwa perbuatan sang sunan tersebut dianggap telah melanggar syariat agama oleh Sultan Trenggana dan segenap jajaran dewan wali. Akhirnya, karena dianggap menyimpang (wali yang menyimpang) dari ajaran agama Islam maka muncul fatwa hukuman mati, dengan dibakar hidup-hidup untuk Sunan Panggung. Tanpa perlawanan Sunan Panggung menjalani hukuman tersebut, bersama kedua anjingnya berjalan memasuki kobaran api, namun tubuhnya tidak terbakar sedikitpun, bahkan di dalam kobaran tersebut sang sunan meminta secarik kertas dan pena untuk menulis serta bekerja mengarang sebuah suluk. Suluk tersebut dikenal sebagai "Suluk Malang Sumirang".
Petikan dari sebagian teks Suluk Malang Sumirang yang ditulis di atas kobaran api tersebut:
Ananging aran tokidan
Lawan ujar kupur-kapir iku kaki
Aja masih rerasan
Yen tan wruha ujar kupur kapir
Pasthi wong iku durung sampurna
Maksih bakal pangaweruhe
Pan kupur-kapir iku
Iya iku sampurna jati
Pan wekas ing kasidan
Kupur-kapir iku
Iya sadat iya salat
Iya idhep iya urip iya jati
Iku jatining salat.
[ Tetapi yang disebut tauhid
Dan ajaran para kafir itu, Tuan
Jangan asal bicara
Sebab jika tak tahu yang sebenarnya oleh para kafir
Pastilah pengetahuan orang itu belum sempurna
Masih mentah pengetahuannya
Sebab yang dikatakan para kafir itu
Sesungguhnya hakikat kebenaran sempurna
Malah kesempurnaan tertinggi
Yang dikatakan para kafir itu
Mengenai syahadat dan shalat
Juga pemahaman dan kehidupan dan kebenaran
Adalah hakikat shalat sejati.]
Penampilan komunitas Swara Pertiwi menyajikan pertunjukan puisi adaptasi Suluk Malang Sumirang, yang sengaja disisipkan oleh penyelenggara acara menjadikan perjumpaan tahunan ini semakin terasa utuh dan gayeng.
Puncak acara ditandai dengan pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Irfan Afifi. Cendekiawan dan Budayawan yang berasal dari Yogyakarta ini menyampaikan kisah hidup Sunan Malang Sumirang, tentunya memiliki banyak hikmah yang bisa diambil untuk menjadi pelajaran kehidupan. Penulis buku "Saya, Jawa, dan Islam" ini juga memaparkan bahwa, "Sunan Panggung mengajak kita bukan hanya terpaku kepada sarana ibadah lahiriyah, tetapi mengajak menuju ke dalam rumah rohani kita. Kemudian mendekat kepada sumber kesejatian realitas yang sebenarnya ada di dalam diri kita, dengan cara itulah kita sampai kepada rumah kesejatian."