Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi dan Pluralisme: Menipu Diingatkan, Salah Disadarkan

Diperbarui: 12 Februari 2017   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia, negeri dengan berbagai campuran suku budaya, agama, ras: pluralis. Namun uniknya, sekalipun dengan keberagaman ini, seluruh warga negara berada dalam satu daerah nusantara, menggunakan bahasa yang sama, Bahasa Indonesia dan yang terpenting, mengakui diri sebagai bangsa yang sama, Bangsa Indonesia dan sudah tertuang dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Ini menjadi sebuah kekayaan bangsa kita dengan keunikannya sendiri yang dituangkan dalam motto “Bhinneka Tunggal Ika”. Kehidupan masyarakat Indonesia yang didasari hal ini menciptakan sebuah toleransi.

Indonesia telah berdiri selama 71 tahun, perjalanan yang sudah cukup panjang. Berbicara soal persatuan, tidak hanya sekali, tidak hanya waktu ini saja penghargaan terhadap kekayaan suku budaya, agama, dan ras kita terancam. Tak hanya sekali toleransi di Indonesia terancam dari dalam negeri, peristiwa DI/TII, peristiwa Poso, penolakan terhadap suku pendatang; penolakan, pembangunan dan pembakaran tempat agama. Hebatnya, Indonesia masih bertahan dari peristiwa yang ingin mengajak perpecahan ini. Tetapi, upaya untuk memecah belah bangsa dan menghapus kekayaan pluralisme tidak pernah berhenti, karena mereka tidak mengakui keberagaman ini, orang-orang dari pahamnya yakin bahwa suku, agama, dan rasnya paling baik

Gawatnya, di masa ini bukan daerah teritorial kita yang terancam keutuhannya, bukan tempat ibadah yang hancur, bukan pula pembunuhan dan penghapusan terhadap Warga Negara Indonesia yang menjadi suku tertentu taruhannya, tetapi sebuah bentuk yang implisit yang tak dapat disentuh: Kebebasan politik dan demokrasi yang menjadi terbutakan.

Tak dapat dipungkiri, pluralisme diperdaya dari tanda keunikan menjadi alat pengelompokan untuk kepentingan politik sebuah kelompok pendukung. Bentuk kebebasan demokrasi yang tinggi di Indonesia, Pilkada 2017 yang sebentar lagi akan dilaksanakan, menjadi salah satu bentuk demokrasi, terancam. Biasanya para calon yang memiliki kepentingan dan keinginan untuk mendapat kekayaan dan kekuasaan akan membagikan uang, serangan fajar, pemberian hibah dan sebagainya. Namun, mereka telah berhasil menemukan cara baru yang modern, memperalat kekayaan pluralisme dengan sempurna, demi tercapainya kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya, untuk memperkaya diri, untuk memiliki kekuasaan yang besar, segala kepentingan duniawi. Dengan menggunakan istilah mayoritas, para calon pemimpin yang berasal dari kelompok suku budaya, agama, dan ras dianggap tidak layak dan pantas memimpin daerah yang didominasi mayoritas, ‘asalnya saja bukan dari sini, bagaimana mau memimpin kami mayoritas’.

Ekstrimnya ada pula yang menggunakan keputusan suku budaya, petunjuk Tuhannya ataupun isi kitabnya sebagai alat kampanye kepentingan. Mereka yang percaya dan yakin benar dengan ajakan ini, tidak dapat disalahkan, apalagi karena hal itu sesuai dengan. Suku budaya dan agama memang mempunyai pengaruh besar di Indonesia, kalau tidak ketika merumuskan dasar negara, para pahlawan tidak akan memasukkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Para korban tidak sadar telah diperdaya dengan pluralisme yang seharusnya menjadi persatuan. Warga Negara Indonesia yang sadar akan hal ini justru dianggap tidak toleran terhadap suku budaya, agama ,dan ras lain; kelompoknya dianggap tidak toleran.

Untuk menghargai persatuan dan pluralisme di Indonesia, serta kebebasan politik dan demokrasi kita harus menyadari manusia-manusia Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, dan ras. Bahwa Tuhan YME menciptakan manusia setara, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lainnya. Artinya kita semua tidak boleh merasa lebih tinggi dari yang lain, sadar bahwa suku agama dan ras kita juga setara ,dan menjadikan kombinasi ketiga hal itu merupakan kekayaan, kelebihan dari Bangsa Indonesia.

Menghargai kebebasan demokrasi dan politik, kita harus sadar manusia yang diciptakan Tuhan YME unik, tidak ada yang sama satu dengan manusia lainnya, pola pikir juga berbeda, termasuk pilihan pemimpin dalam Pilkada 2017. Angka di dalam bilangan tidak terbatas banyaknya; keputusan dalam hidup tidak hanya sekali; calon pemimpin dan wakilnya tidak hanya sepasang dalam kertas suara. Hendaknya kita menghormati pilihan yang lain.

Puncaknya dengan sadar akan pluralisme di Indonesia dan bersikap toleransi, kita dalam proses politik dan berdemokrasi, terutama dalam Pilkada 2017 yang akan datang, kita dapat memilih yang terbaik sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan yang benar, bukan karena tertipu oleh kepentingan pribadi dan golongan. Akhirnya pada proses demokrasi baik Pilkada 2017 maupun demokrasi secara keseluruhan, kita dapat memilih pemimpin secara benar; pemimpin yang nyata bersih dari korupsi, dan mengedepankan kepentingan rakyat.

Akhirnya kita harus sadar bahwa pluralisme, bukan dijadikan sebagai alat pengelompokan, tetapi , dipelajari, diakui, karena pada intinya toleransi terhadap pluralisme bukan mengakui perbedaan-perbedaan suku budaya, agama, atau ras di Indonesia, sebagai kelompok, tetapi mengakui perbedaan itu sebagai seorang Warga Negara Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika

- Bryan S. Gani seorang pelajar kelas 2 SMA Kolese Kanisius

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline