Aku sengaja membuka dialog. Bersama puisi. Yang baru sembuh. Setelah sakit batuknya kambuh.
April pemilu kataku. Tentang politik yang dibencinya dari dulu. Aku coba menggoda. Biar sekali kali ia keluar tema.
Dia diam saja. Melanjutkan membaca. Segala yang telah dibacakan untuknya. Dan apa yang dapat ia baca atasnya.
Apa kau tak tertarik. Pemilu pesta rakyat. Debat sedang panas panasnya. Ayolah. Kau pilih yang mana.
Telinga dia bosan obrolan. Ia masih melanjutkan bacaan. Makin merdu suara. Makin sendu nadanya.
Negara butuh pemimpin yang layak. Rakyat harus memilih atau setidaknya memihak. Berada di tengah pun tidak mengubah apa apa. Yang benar saja.
Sekali ia menoleh. Namun abai lagi. Membuka halaman kitab suci. Terlihat seperti mencari tulisan. Yang dulu pernah ia hafalkan.
Kau sebenarnya pilih siapa. Kan kita sudah lama bersama. Sekiranya sudah tidak ada lagi rahasia. Kuanggap kita tau sama lainnya.
Jangan khawatir. Aku cukup terpelajar untuk membedakan mana yang harus aku simpan. Dan mana yang kepada orang lain dapat aku ceritakan.
Ketemu. Ditutupnya bacaan. Puisiku menjawab pelan :
Ku katakan agar kau tau kenapa aku tak suka politik. Di negerimu politik tak memberi koma hanya titik. Tak ada teduh saat hujan. Tak sempat nafas sebelum menyelam.