DUA PRAMUGARI baru saja menawarkan kue dan minuman. Melewati baris tempat kami duduk. Frano, aku, dan Rabiah. Aku tidak tertarik. Nasi kuning dan nasi ayam yang kami bawa lebih enak. Nasi yang kami makan saat transit di Makassar.
"Oh, iya...aku mau nunjukin sesuatu buat kamu..." kataku sambil membongkar tasku.
"Ini buku kenangan angkatan kami. Setiap angkatan buat buku seperti ini, baguskan?" Aku menyodorkan buku itu. Judulnya Living more Harmoniously. Warna biru.
"Kalau kamu mau, buat kamu aja..." kataku menawarkan.
"Terima kasih..." katanya tersenyum. Ia terlihat begitu serius membaca. Halaman per halaman. Hanya saja ia membacanya dari halaman belakang. "Yang itu punya ku..." kataku saat ia membaca karanganku.
"Kamu Kristen yah?" ia melihatku nyaris dua detik kemudian fokus lagi membaca. Jarinya begitu lihai mengacak halaman per halaman buku itu.
"Aku katolik.." balasku tersenyum. Tenang.
Aku sudah biasa dengan pertanyaan ini. Pertanyaan yang sering ditanyakan kaum muslim. Aku biasa. Biasa karena sepupuku muslim. Aku tidak merasa gugup. Takut ditolak? Tidak sama sekali. Sebelumnya, aku sudah menceritakan bagaimana hubunganku yang pluralis dengan tetangga-tetanggaku di Manado. Di depan rumahku orang Bandung dan beragama muslim. Samping kiri rumahku orang Solo, Jawa timur dan beragama Kristen Protestan. Di samping kanan rumahku orang Gorontalo dan beragama muslim. Setiap natal mereka akan datang silaturrahmi di rumah kami. Seperti biasa pasti ada kue, minuman, dan makanan. Kalau daging babi dan anjing tidak ada. Itu hanya ada di rumah omaku.
Sekitar seratus meter dari rumahku. Untuk anak-anak pasti ada Donat-Doi natal (Uang natal). Begitu juga sebaliknya. Kalau lebaran giliran kita yang silaturahmi. Bahkan lepas dari itu, biasanya kalau rumah sepi, aku tidur di rumah mak Ai. Rumah orang Bandung. Di situ aku menemani ibu mak Ai. Biasa aku panggil nenek. Sangat menyenangkan. Ia kelihatan begitu serius membaca. Dahinya terlihat mengerut. Badannya bungkuk. Sesekali mengatur posisi kaca matanya.
"Eh, bukannya hanya orang islam yang menggunakan Allah? Koq kalian pakai juga?" katanya ketika membaca kata pengantar dari Rm. Berry MSC. Aku menghadap dia.
"Bi, itu hanya penamaan Bi. Setiap orang percaya bahwa ada realitas yang lain di luar akal budi manusia yang tidak bisa ditangkap oleh akal budi manusia. Realitas itu penuh energi. Ada yang menamai itu dengan sebutan Tuhan. Kalau islam sebut dengan Allah. Orang Kristen menyebutnya Tuhan. Allah juga. Ada yang menyebutnya Yang bijaksana. Ada yang menyebutnya dengan Kebenaran. Ada menyebutnya dengan Yang Ilahi. Itu tidak masalah. Tidak ada yang salah. Masih banyak lagi sebutan untuk Yang lain itu. Makanya, yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana supaya kita bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Orang yang selalu mendengarkan suara Allah lewat hati nurani kita. Begitu, Bi" Aku mengakhirinya dengan senyuman. Ia tersenyum. Ia mengangguk angguk kemudian terus membaca. Ia terlihat menerima apa yang aku katakan. Sedikit terlihat berpikir. Mengangguk lagi. Lalu membaca lagi.