Lihat ke Halaman Asli

Bryan de Mang

Mahasiswa filsafat-Teologi. Cinta membaca. Senang menulis. Berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

90 Menit bersama Wanita Turki II

Diperbarui: 30 April 2019   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk di tangga. Persis di atas lantai merah marun gaya tahun 80-an. Aku masih tersenyum. Kelihatan menatap kosong jalan. Tersenyum nyengir. Tersenyum karena melihat rekaman memori film yang menayangkan paras dan eloknya wanita Turki itu. Rekaman itu tiba-tiba saja muncul. Kurasakan otot-otot wajahku begitu kekar membantu menahan senyum yang tampaknya terlalu lama mengembang. Senyuman tulus. Aku tak bisa melihat gigiku tetapi aku dapat merasakan putihnya yang memancarkan sisa tumbuhnya cinta di pesawat Lion Air JT 0641 B penerbangan Makassar -Yogyakarta.

"Kenalin, nama aku Bryant" kataku mengulurkan tangan. Tersenyum ramah.

"Nama saya Rabiah..." ia membalas tersenyum. Ia mengatupkan tangan persis di depan dada lalu membungkuk, tanpa menyambar uluran tangan yang penuh energi. Hospitality energy. Energi ingin bergaul. Energi kepo. Energi yang membuat cinta mulai bertunas. Aku menarik tanganku yang perlahan kehilangan energi. Kaku. Lemas. Lari dan bersembunyi di dalam tas keranjangku. 

"Kacang...kacang goreng, jangkrik ada? Krik...krik..krik" aku  berteriak dalam hati. Aku merasakan secuil kekecewaan dalam dada yang perlahan mulai menyebar dan memenuhi seluruh diriku. Penyebarannya membuatku sesak dan mulai melunturkan kejayaan senyuman tulus tadi saat menonton rekaman itu.

Aku melihatnya. Lagi. Dia melihatku. Tersenyum lagi sambil menunduk dengan kecepatan nyaris dua detik. Aku juga. Aku mengikuti sebagai tanda respek terhadap wanita. Wanita ciptaan yang penuh cinta.

"Kamu kuliah ya?" tanyaku. Memulai percakapan lagi. Kali ini tidak boleh gagal. Coba tak mengapa gagal jadi pengalaman. 

 "Ia, saya kuliah" jawabnya polos. Mataku sempat berkedip melihat cahaya yang terpantul lewat kacamata frame. Tebal. Warna hitam.

"Oh, gitu yah. Dimana??" tanyaku. Memastikan.

"Aku kuliah di UNY-Universitas Negeri Yogyakarta..." 

"Oh...UNY" balasku seolah-olah benar-benar tahu di mana letak universitas yang baru saja aku dengar seumur hidupku. Aku merasa senang. Rasanya gembira. Kekecewaanku hilang. Hilang tak tersisa seolah-olah tak pernah ada. Senyumku mengembang lagi.

Kami berhenti sedikit. Awan putih di luar jendela samping kiri Rabiah terlihat jarang-jarang. Sesekali aku meliriknya memastikan bahwa ia tidak tahu bahwa aku sedang kagum akan wajahnya dan memastikan matanya yang bersembunyi di balik frame hitam tebal itu terlihat curiga melihatku atau tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline