Lihat ke Halaman Asli

Jakarta, Hanya Soekarno-Hatta Sekedip Mata

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

129403484492198524

Ini adalah kisah perjalanan seorang praja IPDN dalam langkah demi langkah mimpinya.Inilah senyatanya dan sebenar-benarnya .Aku hanya kembali menuangkannya dalam bentuk yang lebih indah untuk dibagikan.Karena asam,garam maupun gulanya tak buatan.Perkenankanlah aku sendiri yang membagi, karena diriku sendiri yang mencicipi pahit madu pendidikan itu,dengan berjuta ibrah yang bisa kubagi untukmu,Kawan.

Akulah seorang muslimah delapanbelas tahun,lahir di kota kecil Barabai,Kalimantan Selatan.Panggil saja aku Nisa.Aku memutuskan melilih IPDN ,atas nama mimpi orangtuaku,atas hasil istikharahku,dan berbagai alasan,salah satunya karena sudah tak ada halangan untuk berjilbab dengan seragam itu.

***

Agustus 2008.Kini mutlak sudah.Mimpi ini dalam genggamanku.IPDN.Sambut aku di portal-mu nan megah itu.

***

Dalam degub-degub yang tak menentu aku berjalan mengikuti Pak Marwan,salah seorang pejabat di BKD setempat.Kakiku melangkah dengan dada membuncah-buncah.Telah terbit satu peluang seterang mentari di pelupuk awan.Maka,kugenggam koper pinjaman itu dengan langkah pasti.Didalamnya,ku tahu,hanya ada seperangkat training yang memenuhi syarat untuk dipakai PANTUKHIR.Sisanya,mungkin aku harus berjuang sendiri meraupnya di Jakarta,mengais-mengais entah di toko mana nanti,dengan uang 500 ribu ditanganku ini.Tentang uang ini,memang dibatasi jumlah yang dibawa hanya boleh sebesar itu.Karena waktu membatasi langkahku mencari,karena dengan suatu keganjilan dan keterlambatan aku ditelpon kembali,dinyatakan lulus dari tes terakhir,akademik,dan diperkenankan mengikuti PANTUKHIR di pusat.

Aku tak menggali asal muasal keganjilan itu.Tak ada hak ,terlalu riskan bagiku yang hanya punya seorang Ibu tanpa kolega satupun di pemerintahan.

Jakarta akan pertama kalinya kuinjak.Kering kerongkonganku tak mampu berbicara.

Dari ruang tunggu aku diantarkannya masuk,diberinya beberapa petunjuk,dan sisanya dalam kegalauanku aku berdoa saja agar tak terbit niat jahat siapapun melihat gadis nan imut- imut ini sendirian mengejar nasibnya..Aku dilepas sendiri karena Pak Marwan ada keperluan ke rumah saudaranya di Depok.

Menangislah Nenekku diujung sana jika tau cucunya ini,seperti beberapa jam yang lalu dia,dengan tercekat-cekat bak kaleng pecah suaranya menelpon,

“Jar handak tulak ka Jakarta kah Cu?Ya Allah bauntung cucuku…..Kanapa kada Bahasa Inggris haja ditarusakan ,kuliah di kampung haja?” (Katanya mau berangkat ke Jakarta,?Ya Allah cucuku..Kenapa tak melanjutkan kuliah bahas inggris itu saja,di kampung saja? )

Saat itu aku telah resmi satu minggu menjadi mahasiswi baru Universitas Lambung Mangkurat,Banjarmasin.Karena tak ada pilihan lain,telpon panggilan untuk PANTUKHIR tak juga kunjung tiba.

Aku hanya terdiam.Sangat sulit menjelaskan.Sebuah naluri ingin merantau yang tak terdefinisikan.Seolah-olah jika aku berhasil keluar dari pulauku ini,aku mendapatkan pengalaman dan wawasan yang tak remeh –temeh dibandingkan remaja seumuranku.Meskipun kenyataanya, merantau bukanlah jaminan apalagi ukuran.

“Doakan haja ni’ai.Minta Ridha.Tampulu ada kasampatan (Doakan saja Nek..…Minta ridho.Selagi dikasih kesempatan)”

Akhirnya jaringan yang kacau memutus suaranya diseberang.Aku galau.

Hujan lebat yang berawal dari gerimis telah membuai mahasiswa-mahasiswa tingkat atas yang sudah begitu malasnya masuk kampus untuk menarik lagi selimut tebalnya,bersedekap.Bersyukurlah sepupuku tak termasuk satu didalamnya.Hingga hujan-hujan ,dia dan Ibuku,mengantarkanku menunggu Pak Marwan di pinggir gapura memasuki bandara Syamsuddin Noor.

Tak pelak,ini adalah kali pertama aku menaiki burung besi ini.Lion Air seat 7E.Dengan susah payah tak kutunjukkan kebodohanku memasang sabuk pengaman,mengeratkannya,dan melepasnya lagi.

Penerbangan pertamaku dengan cuaca seburuk ini,membuat jantungku makin menggila-gila,melompat-lompat sampai pusar terasa tertarik-tarik.Sensasi kehilangan seluruh kehangatan kampungku,haru karena akhirnya aku bisa lulus,senang karena inilah pertama kali aku terbang,semua menggumpal-gumpal dan menyumbat pembuluh arteriku,membuat sekujur tubuhku menegang.

Kardigan kuning dengan dalaman kemeja putih,dan jilbab putih ini mengeringkan sisa-sisa air mata yang tak dapat kutumpahkan karena waktu.Ya,aku ingin satu jam saja lebih lama untuk bisa memeluknya.Memeluk wanita yang kering itu,yang belum sarapan itu.

Kini,menelponnya pun aku tak bisa.Dengan apa?Dengan gemetar dia menerima hape yang kuberikan tadi,karena aku lebih tak mungkin membiarkan hape itu di tungkih (bahasa banjar untuk diremukkan/dibelah dengan kapak) jika aku sudah definitif lulus dan menjalani sebulan masa Latihan Dasar di IPDN( lebih seperti ospek-nya mahasiswa) karena peraturan menuntut tak ada yang bisa menggunakan alat telekomunikasi.Harga sakit yang kurasa membayangkan keringatnya yang jatuh untuk membelikan hp itu jauh lebih mahal daripada rasa rinduku sendiri yang harus kutahan,meski dengan cara apapun.

Aku berusaha memahami,wanita salju yang tak bisa mengungkapkan emosinya itu lebih pekat rasa pahit yang ditelannya.Melebihi batang panawar sampai yang selalu digunakan ibu-ibu untuk menghentikan anaknya menyusu.Akupun telah kehilangan sebagian sifat remajaku,yang bisa bermanja-manja,menitikkaan air mata ataupun menciuminya selembut yang aku mampu sambil membisikkan sesuatu yang indah untuk ia kenang sebagai perpisahan.

Aku tak mampu.Kondisi hidup telah membentuk watakku,bahkan menenggelamkan tangisku yang tak terungkap.Aku tak mampu berekspresi apapun,selain mengucap “Doakan saya…”.Karena aku dan dia,telah mengeras ditempa keadaan.Aku tahu sepahit apa panawar sampai itu ditenggorokan,maka pucat mukanya cukuplah menunjukkan lebih dari itu.Jemari-jemarinya yang kurus kisut bergetar menyambut benda kecil yang kutitipkan padanya.

Tak ada suara.Aku menunggu semenit.Tapi tatapanku ,dan tatapannya yang memburam terhembus angin kencang di bawah akasia ini menyiratkan beribu kata.

Berpuluhtahun dia menyapih,melindungi,mendidik dan menjagaiku,berdoa,mengharapkan dalam sisa-sisa umurnya,putri satu-satunya bisa terus menemaninya .Tapi apa yang kubuat dengan ego pendidikan diluar itu menjanjikan ini?Ah tapi bukan.Bukan ego.

Bukankah ini upayaku untuk mengeruk energi dan rasa bangganya ke permukaan,menaburkan ke palung hatinya sampai tak muat lagi hatinya menampung?Mengangkat harkatnya sebagai janda dengan tiga anak,yang dalam stigma masyarakat kampungku,status janda adalah lemah dan lebih rendah,tak punya power dalam masyarakat.Underestimate!

Tunggu aku,Ibu.Dengan janji yang kubungkus dalam sapu tanganmu ini.Aku takkan gentar.Meski aku tak tahu apa-apa selain SCTV yang dua kali kesempatan menayangkan berita kematian Wahyu Hidayat dari Jawa Barat dan Cliff Muntu dari Sulawesi Utara. Tapi niatku telah membongkah.Masalah umur Allah-lah yang menentukan,bukan IPDN.

Dengan sigap,aku dipisahkan oleh suara tarikan koper dari Pak Marwan,mengisyaratkankan kita tak bisa berlama-lama,pesawat akan berangkat.

Ibuku berterima kasih berkali-kali,sebelum menyetop angkutan umum yang akan mengantarkannya ke kampungku,mengabaikan perutnya yang terbiasa mual-mual bahkan muntah setiap kali perjalanan.Aku tahu sugestinya akan mabuk darat melebihi orang mabuk cinta sekalipun.Bergetar badannya,kadang menggigil jika mualnya tak tertahankan.Disaat-saat seperti itu akulah yang selalu mendampinginya.Bukan siapa,karena siapa itu takkan peduli pada kesakitannya.

Kulihat punggungnya dari jarak berpuluh meter,merabun mataku.Semua benda mengecil,hanya desis tajam burung besi yang mengangkasa mengantarkan rindunya dan tangisnya tangisnya yang begitu pahit dalam angkutan penuh sesak dengan durian.

Inilah Agustus,musim kering namun orang dengan gempita berpanen durian.Merebakkan semarak yang pernah hidup dihatinya,ketika ia tinggal bersama Bapakku di Kecamatan Pengaron,Kabupaten Banjar , tempat pendulangan intan yang banyak duriannya.Martapura,kota berintan,asal muasal moyangku.

Pengaron,yang baru sebulan silam ditelusurinya lagi bersamaku sepulangku tes akademik,dalam silaturahmi ke rumah Paman Iyus dan Paman Haji,adik kandung Bapakku.mengenang-ngenang kisah cintanya dulu,dalam kali pertama ia pernah bercerita padaku dan kali pertama aku tertegun dengan senyum dikulum.Kejujuran tentang hati,yang pertama ia lakukan terhadap anak perempuannya ini.

Semakin dewasa,agaknya tingkat keterbukaan seorang anak perempuan dengan ibunya cenderung meningkat,baik dengan suatu tendensi sebentar lagi aku merasakan menjadi Ibu juga maupun tidak.

***

Otakku juga akhirnya mengudara,tak bisa tertidur walau satu detikpun.Padahal setelah ini,masih dalam keadan berpuasa aku harus mencari-cari info dan meminta izin pada petugas Badan Diklat Jakarta agar diijinkan keluar membeli segala perlengkapan tambahan yang belum kupunya.

Kemeja putih,celana panjang hitam, topi putih,handuk biru polos,gesper,kaos kaki hitam,sepatu PDH Polwan ukuran 40,dasi hitam,sapu tangan……daftar itu kuremas,kugulung dalam saku celanaku ,seperti mengharapkan dalam sekejap dapat menggunakan mantra ‘Accio’ Harry Potter untuk mendapatkan keperluanku segera.

Aku telah siap,bismillahirrahmanirrahim.

Koperku tak masuk bagasi karena rencananya aku akan buru-buru,dan berhubung koperku cukup kecil maka kuseret ,melewati undakan anak tangga,meluncur di aspal rata bandara,melewati ratusan orang tak kukenal.Sesuai perintah pak Marwan aku menunggu dulu sebelum meluncur ke Badan Diklat,untuk satu orang lagi temanku laki-laki,Dian,dari satu kabupaten yang sama.Sayangnya tadi,karena satu keperluannya aku tak bisa berangkat bersama-sama.

Satu.Dua.Tiga.Empat jam.Lima jam aku duduk menunggu setelah Lion Air landing di Soekarno- Hatta.

Kuseka airmataku yang tak sengaja meleleh.Selama lima jam aku hanya memperhatikan orang berlalu lalang dengan segala aktvitasnya.Dua kali anak delapan tahunan menawarkan jasa semir namun kutolak dengan air mata yang meleleh.Sekali,anak sebelas tahunan menawarkan jasa pijit.Akh,IbuKota.Lebih kejam daripada Ibutiri sekalipun.Kemiskinan membuat orang sebegitu kreatifnya mencari penghidupan.Tekadku membulat,anamanah yang akan kuemban sebagai kader pemerintah tidaklah mudah.

Seorang Bule yang bertanya dimana kira-kira restoran yang menjual gado-gado Jakarta tak kugubris,hanya tersenyum dan menggeleng lemah.

Aku tak mengerti kenapa kusimpan air mata ini untuk jatuh ditempat yang tak tepat.Petuah guru mengajiku bahwa menangis saat berpuasa bisa batal terngiang-ngiang.Namun,satu biji permen pun tak kupunya untuk berbuka.Dan aku sudah delapan belas tahun untuk mengetahui makna ajaran masuk neraka dan masuk surga dalam agama Islam.

Sekejap kusadari menstruasiku datang disaat yang tak tepat.Disaat tak ada apapun untuk berbuka.Dan ditengah kerumunan orang yang sedang menunggu seperti ini,rasanya amat tak layak makan dan minum bagiku,menghancurkan nuansa bulan ramadhan yang terlalu indah.

Aku hanya bergegas ke WC menyelamatkan keadaan,dengan menyeret koperku,mengabaikan rasa nyeri perutku yang tiba-tiba menyerang.Aku tak lagi menunggu ditempat yang dijanjikan.bagaimana seandainya Dian dan orangtuanya tiba-tiba datang dan mendapatiku tak ada,lantas meninggalkanku pergi ke Badan Diklat sendirian

***

Kaki ini butuh seribu langkah untuk hindari kata menyerah,satu kalimat dari teman dekatku di kelas Bahasa,yang terus terngiang-ngiang sampai saat ini.Dia,saat ini sudah berada di Jatinangor kampus IPDN pusat.Telah terlebih dahulu beberapa minggu tiba disana.Satu pendaftaran,dari satu kabupaten yang sama.

Ingatan yang kurang segar ini meloncat-loncat keluar,berhamburan diatas kursi,dalam hall Bandara Soekarno –Hatta ketika aku kembali lagi dari toilet.Beberapa jam kuhabiskan untuk mengumpulkan serpihan ingatan yang berserakan.Berharap kekuatanku muncul dari sana disaat kusadari lelah menggiringku pada kata menyerah…

Dian dan keluarganya yang tak kunjung ada…

***

Juli 2008,sebulan yang lalu

Menyeka keringatku yang meleleh ,jatuh menetes satu demi satu.Baru saja kuinjakkan kakiku di stadion Mulawarman Banjarmasin,memarkir motorku di sebuah beringin besar nan teduh.Dan menunggu.Sendirian.Sampai satu persatu teman satu kabupaten berdatangan.

Lebih banyak lagi,ratusan pesaing-pesaingku .Dengan mobil mewah nan mengilat.Dengan orang tua dan kolega.Sempat,menyiutkan nyaliku bak kerupuk tersiram air.Tapi kuingat,Uwakku(kakak sepupu Ibuku) yang sengaja menemaniku di rumah kak Diah berminggu-minggu.Memberikan dukungan sebesar yang dia mampu

Uwak Minah.Janda polos teman ngobrol nenekku .Jika tak ke sawah,duduk di beranda rumahku menemani nenekku menunggu sayur dan ikan,serta memilihkannya untuk nenekku (karena nenekku menderita penyakit yang menghilangkan penglihatannya sejak beliau remaja).

Berdua kami,seminggu yang lalu, tepat ketika aku lolos tahap psikotes (tahap kedua setelah administrasi),berangkat ke Banjarmasin ke rumah kak Diah,anaknya.

Dimensi gugup yang tak terbendung hingga dengkulku terasa lepas.Satu persatu memasuki stadion dan berkumpul.Segenap nyawa kukumpulkan.Sepertinya,inilah saaatnya doa orangtuaku ,nun jauh disana,bermain tanpa bisa ditangkap logika.Beberapa menit lagi,aku bergumul dengan peluh menakar nasibku.

Lintasan lari ini terasa seperti lingkaran obat nyamuk yang membuat pening kepala.Beberapa detik sebelum turun,ku tenggak susu beruang atas saran teman-temanku.Yang kupikirkan saat itu adalah kenapa tak sejak dulu aku rutin lari sore atau lari pagi ,dan aku baru tersadar selain doa juga dibutuhkan upaya logis yang menunjang.

Selebihnya,andai saja ada susu lain yang lebih canggih dari susu beruang---susu gajah atau macan---aku berani tenggak saat itu juga asal tak ada fatwa haram dari MUI.Sayang realitasnya,diriku kini sedang melap keringat dingin,mengutuki diri dengan beribu penyesalan.

Aku bukanlah Paskibra Provinsi seperti Irul temanku.Kans mereka lebih dari cukup untuk saat ini.Aku juga bukanlah atlet voli,basket,takraw,badminton,dan lain sebagainya.

Satu-satunya prestasi terbesarku dalam hal jasmani adalah menemani kakak laki-lakiku ber-slamdunk ria tiap sore di lapangan sekolah dekat rumahku dengan bola basket benjol ala kadarnya!Dan lebih banyaknya aku menjadi kacung saja.Mengambilkan bola untuknya.

“Priiiit!Priiiit!”

Peluit butut yang sumbang mengagetkan.

“Ayo berkumpul semua disini.Ada intruksi dan pembagian nomor dada”

Seorang pelatih dari TNI melambai-lambai sambil berteriak.Aku,dengan Dayah temanku,yang begitu baiknya sejak kukenal disini,berpegangan erat dan beranjak ke sana.

Nomor 5.

Syukurlah agama dan budaya yang kuanut tak satupun mendoktrinkan nomor sial,apes,dan lain sebagainya yang mampu mensugesti sampai nyali mengerut sebesar upil.Aku pede dengan nomor lima.Apapun yang akan terjadi!!

Dayah dapat giliran kedua.Jadi,untuk kali ini,akulah yang pertama menguji nasibku.

”Doakan aku,Dayah!”Ucapku keras seperti salah satu peserta lucu Takeshi Castle (Benteng Takeshi) di salah satu stasiun tv.

Kemudian kupasang nomor dada ,Beberapa kali tanganku tergelincir karena gugup dan licin.Dayah membantuku.Menepuk punggungku dan membisikkan kata-kata semangat yang tak lagi bisa kutangkap..Hatiku bergemuruh.Akhirnya Dayah pergi ke tribun,berkumpul bersama penonton lainnya.

Semua anak sudah ambil posisi.Raut gugup terlihat,namun banyak pula yang santai-santai saja.

Seorang pelatih TNI mendekat ,”INGAT NAK,SETIAP LANGKAH ADALAH MASA DEPANMU.JIKA KAU BERHENTI,ARTINYA KAU TELAH MENGHENTIKAN PELUANGMU SENDIRI”

Kuremas kantong trainingku.

Alamakk!Aku lupa gula aren yang dipesankan Uwakku.Dia sudah mewanti-wantiku jauh-jauh hari dengan ramuan mujarab itu.Konon,gula merah mampu mengembalikan stamina seketika,katanya!

Seandainya ada yang jual gula aren seratus ribu pun ku beli detik itu juga.

“Bersedia,siaaaap…..”

“YA!!!”

Satu stadion langsung bergema.Anak-anak langsung melesat jauh.Aku berusaha menelan doktrin kakakku agar berlari slow di menit-menit pertama untuk menyimpan energi lebih banyak.Satu putaran,mulutku terasa kering dan perutku mual.Ingin sekali kumuntahkan namun aku telah garisbawahi kata-lata pelatih kami itu.Pantang bagiku berhenti .

Dua putaran.

Hosh.Hosh.

Napasku tinggal satu-satu, berceceran seperti kotoran kambing.

“Ayooo….nomor limaaaa…” Aku tak tau siapa yang berteriak di tribun atas namun luar biasa menyuntik energiku dan akhirnya sampai pada putaran ketiga.Kupikir yang berteriak itu Riko,teman baikku waktu SMP.Jadilah semangatku meluap.

Waktu yang disediakan 12 menit untuk mencapai 5 putaran minimal dan aku hanya punya beberapa menit lagi untuk meraih 2 putaran yang bisa menyelamatkanku.

Kakiku sudah melemah dan akhirnya aku mendapatkan putaran keempat.Sedikit lagi…sedikit lagi…..dan lagi…….

Ya!! Telah kucapai finish…..Dan sisanya sungguh aku melemah.Aku hanya bisa berjalan dan tersadar,rupanya aku di urutan kedua.Ada satu cewek yang begitu powerfull berlari di depanku.Biarlah.Aku tak berambisi mendapatkan enam melihat kenyataan engsel dengkulku bisa lepas satu-satu.

Lima putaran sudah kugenggam.Alhamdulillah,tinggalah push –up,sit up,shuttle run,dan chinning yang akan kukejar sampai dapat.Aku tak akan membiarkan seyum ibuku hilang,meski harus ditukar dengan darah sekalipun!!

***

Sisa-sisa kegiatan dalam tahap tes kesamaptaan itu,beruntungnya aku mendapatkan gula aren dari Tini,teman satu SMA –ku yang juga ikut tes.Kurang kerjaan juga rasanya berebut gula aren dengan teman-teman.Walau sampai shuttle run (lari berputar seperti angka delapan---konon sangat menguji konsentrasi---apalagi saat itu dilakukan di siang hari yang terik)

Kusadari bukanlah susu beruang,bukan pula gula aren,tapi keyakinan dan doakulah yang dikabulkan oleh Allah SWT hingga akhirnya aku bisa melaluinya dengan lancar.Hingga menunggu hasilnya besok hari.

Katanya,pengumuman akan ditempelkan sore hari.Maka,setelah pengukuran tinggi dan berat badan ulang akhirnya aku mengambil motorku di bawah beringin,sambil menenggak sebotol Aqua,bersama dayah aku pulang.

Aku akan mengantarkan Dayah ke rumah pamannya,lalu kemudian pulang.Dayah sudah terlalu baik denganku,masa untuk mengantarkannya saja aku harus berpikir dua kali?

Kesan yang kudapat dari hari ini adalah,jika kamu belum betul-betul hafal jalan,janganlah sok-sokan mengantar teman apalagi dengan rute yang sangat jauh berbeda.Aku tersesat sekitar dua jam sebelum tiba kembali di rumah kak Dyah.Badanku gempor seutuhnya.Uwak Minah langsung memelukku ketika kutiba.Lengkap dengan aroma semerbak rempah-rempah tujuh rupa sehabis memasak. Banjarmasin,kecil tapi bikin jengkel!!

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline