Di lintasan darat Papua Pegunungan Tengah, kerap dijumpai portal amatiran, buatan warga setempat. Tak tanggung-tanggung, bila kita ngotot ingin lewat, bayarannya sampai Rp.1 juta per satu mobil. Padahal, portal ini mereka buat di jalan nasional dan atau provinsi, yang menghubungkan beberapa kabupaten di Propinsi Papua. Mahalkah? Memang, begitulah cara beberapa penduduk setempat mencari duit dengan cara singkat.
Pak Ogah, sebutan lain bagi mereka, pengatur lalu- lintas swadaya. Biasanya dilakukan pemuda pengangguran. Kalaupun portal agak resmi dilakukan petugas HANSIP, utusan kelurahan. Nama pak Ogah, popular menyusul peran dia di film anak-anak, Si Unyil yang selalu minta uang jasa. “ Tapi, cepek dulu,” begitulah ulah Pak Ogah sambil menjulurkan tangannya pertanda meminta bayaran saat diminta bantu.
Sejalan dengan turunnya nilai rupiah, harga yang diminta sudah beragam, antara lima kali lipat hingga 10 kali dari yang diminta Pak ogah dalam film Si Unyil. Sukarela, bisa iya. Tapi jangan coba hatur thank you, bila tidak mau mobil kita dibaret paku. Atau setidaknya, kita harus bersiap mendapat suara pluit yang cukup memekakan telinga, yang sengaja mereka arahkan ketika pas melintas di hadapannya.
Sementara petugas Hansip, yang katanya untuk retribusi kas desa, sedikit resmi. Mengenakan seragam dan berbekal karcis, terkadang sudah lusuh, dia mengutif sesuai angka yang tertera dalam karcis yang ia sodorkan. Nilai di kisaran Rp.1.000 per kendaran roda 4, sekali jalan.
Dengan seragam dan tiket, mereka terkesan Pede dan menganggapnya pungutan resmi. Tak jarang portal pun mereka pasang kuat-kuat melintang jalan. Aksi Mereka kerap ditemui di jalan pintas, berukuran kecil. Sekalipun nilai kutipannya sudah berubah, nama mereka tetap dijuluki pak ogah.
Namun lain halnya dengan Pak Ogah di Papua, dia benar-benar memasang tarif tinggi Rp.500.000 hingga Rp.1000.0000 per sekali lewat. Tak tanggung-tanggung, mereka beroperasi di jalan raya, jalan nasional atau provinsi yang menghubungkan antar kabupaten. Portalnya beraneka macam. Mulai dar ranting kecil yang mereka tancapkan di tengah jalan, atau menggali jalan, hingga melintangan batang pohon besar.
Janga coba-coba menerobos, mereka dengan golok terhunus sudah siap menghadang di depan. Kalau sudah demikian, hanya dua pilihan, bayar atau kembali. Jangan berpikir mencari jalan memutar, kalau tidak mau kesasar. Sikap mereka saklek, ada uang anda boleh melintas. Mereka tidak peduli rombongan yang mereka cegat atas undangan siapa, termasuk dari bupati, sekalipun. Sekali lagi, bayar atau kembali pulang.
Kejadian ini setidaknya saya alami ketika mau memasuki Distrik Kanggime, salah satu distrik di ujung Timur Kabupaten Tolikara. Mereka menghadang rombongan kami hanya dengan sebuah ranting kecil yang mereka tancapkan di tengah jalan becek. Sebetulnya ditabrak tidak akan merusak atau menghambat laju mobil. Namun, kita lebih mencari jalan aman. Kita tidak mau mengambil resiko karena belasan pemuda dengan golok terhunus sudah berdiri beberapa puluh meter dari ranting tadi. Karena yang diminta hanya Rp.500.000 per mobil, kejadian itu tak kami permasalahkan. Ranting mereka cabut dan kami meneruskan perjalannya.
Rupanya mereka tahu, rombongan kami malam harinya pasti kembali melewati jalurnya. Mereka tetap bertahan, sekalipun hari sudah larut malam. Padahal, menurut sang sopir, yang biasa melintas jalur ini, biasanya malam hari portal sudah mereka cabut. Mau tak mau, sekalipun mengaku siangnya sudah bayar, mereka tak izinkan kami lewat. Nego satu jam lebih berakhir sia-sia. Padahal yang ikut nego salah seorang kepala dinas di kabupaten ini . Mereka, sekali lagi tak peduli. Ada uang, silahkan lewat.
Pengalaman yang sama juga dialami sepulang mengunjungi Distrik Bokondini. Waktu tempuh sekitar 4-5 jam perjalanan dari Karubaga. Sebetulnya, jaraknya sih tidak kurang dari 20 km-an. Namun kondisi jalan yang belum diaspal serta di beberapa sungai belum memiliki jembatan menjadikan laju mobil terhadang medan berat. Berangkat pagi, tiba di lokasi hampir menjelang sore.
Saat berangkat aman tanpa gangguan portal. Esoknya ketika pulang, mereka menghadang rombongan dengan cara menggali parit melintang. Rintangan ini cukup ampuh, sekalipun kita memaksa pasti akan terjerembab. Mereka mempersilahkan kami bisa lewat asalkan menyewa balok kayu. Harga sewanya, satu bilah kayu Rp.500 ribu.