Lihat ke Halaman Asli

Politik Nalar Para Pecinta Nikotin

Diperbarui: 16 Maret 2016   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="tokopedia.com"][/caption]Masalah merokok memang perkara rumit. Jika sudah terbiasa, atau bahasa gaulnya sudah mencapai level addicted, istri atau pun pacar bisa mendadak menjadi nomor dua. Dipergunjingkan sana-sini tak mempan lagi. Bahkan dinasehati dokter sekalipun, para perokok pasti cepat-cepat ingin keluar dari ruangan si dokter. Apalagi kalau cuma gambar-gambar seram yang dimunculkan didepan kemasan rokok, dilirik juga tidak.

Rokoknya dibuka, isinnya diambil sebatang, diletakan diantara dua bibir, sembari matanya entah meleng kemana. Lalu bungkusnya ditutup lagi, dimasukin ke saku atau ditarok di meja lagi. Asap mengepul ke udara, gambar seramnya malah entah dianggap apa, ngambang bersama bungkus rokok diatas meja atau di dalam saku, sebelum ujung-ujungnya parkir di tong sampah tanpa kata-kata selamat tinggal.

Mengapa bisa? Karena perkara merokok atau berhenti merokok bukan perkara menakut-nakuti, bukan perkara diancam penyakit ini dan itu, ditakuti dengan implikasi-implikasi saku ini dan itu, tapi sudah dianggap perkara hati. Tak ubahnya dengan urusan cinta. Kalau sudah sreg mau dibilang apa. Hidung pesek dikata mancung juga. Mata belo dikata indah juga. Rambut bau bawang putih tersengat sinar matahari dikata bau bunga melati juga. Ya, memang begitulah hati bekerja, mau dibilang apa.

Dipaksa main logika, nanti dibilang tak punya hati, dibilang tak hormat perasaan laki-laki. Dipaksa memahami dari sisi kesehatan yang sejatinya bisa menimbulkan penyakit, minimal batuk dan turunannya, jawabanya sederhana saja. Monyet juga batuk tapi tak merokok. Apalagi jika dipaksa membaca iklan counter campaign rokok di layar kaca seperti “rokok membunuhmu”.

Dipastikan jawabannya pun tak kalah attraktif pula, Mirna saja mati karena sianida, bukan karena rokok. Nah apalagi kalau perokok sudah bawa-bawa tuhan pakai dalil-dalil teologis nan super monoteistis. Mau mati atau mau hidup lima puluh tahun lagi seperti lirik lagi Yuni Shara dan Raffy, itu terserah tuhan. Toh kalau sekarang tuhan mau kita mati, ya tertabrak semutpun pasti mati. Demikianlah jawabanya.

Agak rumit memang perkara rokok – merokok ini. Selain masalah addictedness orang perorang, di beberapa lokasi, rokok dan merokok terkadang sudah menjadi simbol sebuah aktifitas sosial budaya atau perlambang sesuatu yang sebenarnya tak terkait dengan kerokok-an rokok. Saya masih ingat, sewaktu saya masih duduk dibangku SMP dan SMA di Kabupaten Agam Sumatera Barat, rokok malah menjadi undangan simbolis untuk menghadiri acara hajatan nikah atau syukuran. Si pengundang datang membawa berbagai merek rokok, singgah disetiap rumah yang dilewati. Biasanya, jika rokok diseruput oleh yang empunya rumah, maka itu pertanda persetujuan untuk mengahadiri acara si empunya rokok, meskipun tidak mesti bermakna demikian karena bisa saja rokoknya dihantam tapi pada hari H yang bersangkutan tak datang.

Entah kapan tradisi ini dimulai, saya pun tak begitu paham, tapi setidaknya ini menjadi sebuah gambaran bahwa rokok sempat menjadi simbol dari sebuah aktifitas sosial budaya disana. Namun konon saat ini tradisi mengundang pakai rokok sudah nyaris tidak ada alias pudar digerus zaman. Bukan karena antipati terhadap rokok semakin menjadi, tapi karena modernisasi gaya hidup dimana undangan dalam bentuk surat semi formal berenda bunga-bunga mirip celana dalam wanita jauh lebih disukai. Tidak perlu bawa-bawa rokok, lalu singgah di setiap rumah sembari ikut menghabiskan sebatang rokok bersama yang empunya rumah. Itu bisa menghabiskan waktu 5-15 menit untuk setiap rumah.

Dalam kacamata modernitas, tentu hal itu terlalu boros waktu dan kurang elitis, bahkan skope penyebaran undangan sangat terbatas. Sementara, semenjak undangan cetak versi renda-renda bunga tadi dikenal, undangan bisa menyebar kemana-kemana, terkadang tak harus pihak dari ring satu pengantin yang datang mengantarkanya. Bahkan jika ada gojek atau grab bike disana, mungkin akan kebanjiran job mengantarkan undangan semacam ini. Maklumlah, ring satu dipastikan lagi repot mengurus rencana pesta dengan segala tetek bengeknya.

Kembali ke cerita awal, dari justifiksi-justifikasi tersebut, mahfumlah kita bahwa merokok bagi perokok adalah ibarat spidol bagi seorang guru atau jarum suntik bagi seorang dokter. Bagaimana tidak, bayangkan saja ada kawan yang sering berceloteh bahwa dia tak bisa berkonsentrasi kerja jika belum merokok. Seorang kawan lainya juga pernah bilang, jika tidak merokok, maka dia diperkirakan akan gagal menembak pacarnya ketika itu. Aneh memang, posisi dan kapasitas rokok bisa berganti-ganti sesuai kebutuhan dan situasi para perokok. Manfaatnya seolah berguna untuk semua sisi kehidupannya, seolah-olah.

Bahkan saat ditelikung dari sisi ekonomipun, perokok masih saja bisa mengelak. “Heh, kamu udah tau gajimu cuma segitu, dipakai pula buat beli rokok sebungkus dua bungkus sehari, kamu sekolah ga sih, kamu belajar matematika ga sih, sampai-sampai ga menghitung kapasitas dan kemampuan pembiayaan hidupmu sendiri. ” Jawabannya masih saja santai dengan wajah tanpa dosa, perokok bilang, “kamu tau kalau ada ayat di dalam kitap saya yang menyatakan bahwa binatang melata saja sudah ada jatah rejekinya, apalagi kita. Kamu tau ga kalau rejeki itu tak akan pernah tertukar, uang yang saya belikan rokok tidak akan berasal dari uang yang menjadi rejekimu yang memang sudah ditakdirkan untukmu, mohon pahami itu, kecuali kamu berikan rejeki itu pada saya, maka itu akan menjadi rejeki saya yang datang melalui sakumu”.

Lalu jika diajarkan tentang hidup berhemat, biar uang rokok bisa ditabung dan kalo perlu diinvestasikan, baik untuk diri sendiri, keluarga, ataupun buat anak dimasa depan, sembari memberi hitung-hitungan harian, bulanan, tahunan, dan abadan (kalo umurnya nyampe), perokok masih tetap saja berkilah bahwa “ah kaya mah tidak akan dibawa mati, soal warisan tak terlalu penting lah itu. Jika saya wariskan harta ke anak saya, nanti mereka jadi anak mama dan papa yang malas berusaha. Jika saya wariskan misalnya sebuah usaha sederhana, nanti ditangan mereka dibuat besar dan berkembang, akhirnya anak saya jadi kapitalis dan sejenisnya, ya mending tak usah, biarkan mereka berusaha dan menentukan jalannya sendiri”. Ah dasar, perokok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline