Lihat ke Halaman Asli

Celah Shortfall Pajak Kian Menganga

Diperbarui: 9 Maret 2016   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ekbis.sindonews.com "][/caption]Pemerintah tahun ini dituntut gencar dan gesit mengulik sumber pajak. Sehingga tak hanya menggali pendapatan dari sumber yang sudah ada, pemerintah pun akhirnya memancing kepulangan dana yang ditempatkan di luar negeri. Setidaknya ada dua aturan besar yang akan disentuh pemerintah untuk menggelembungkan pendapatan negara. Pertama, lewat revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Kedua, lewat pembentukan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak atau yang populer disebut RUU Tax Amnesty.

Pemerintah nampaknya tak sungkan-sungkan lagi menggali sumber pajak karena ingin mengejar target pajak tahun ini yang mencapai Rp 1.368 triliun. Sekedar mengingat, tahun lalu dengan target Rp 1.294,3 triliun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak hanya mampu mengumpulkan 81,5% atau Rp 1.055 triliun. Ini berarti bahwa Ditjen Pajak harus mencapai pendapatan 30% lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Namun dari perkembangan yang ada, saya menduga, berkemungkinan akan ada selisih target dan penerimaan pajak (shortfall) sampai Rp 200-an triliun yang bisa mengganggu rencana pembangunan tahun ini.

Atas alasan ini lah akhirnya pemerintah berkeinginan mengajukan revisi UU KUP. Secara teknis, pemerintah salah satunya ingin memperluas Wajib Pajak (WP) pribadi. Misalnya, dengan melegalkan kewenangan menggali data rahasia nasabah dan pribadinya tanpa batas sebagaimana yang santer diberitakan belakangan ini. Prosesnya dibahas bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, di mana revisi UU yang nantinya memayungi keterbukaan pertukaran informasi atau Automatic Exchange of Information (AEoI), diharapkan rampung di tahun 2017.

Beberapa kalangan sempat khawatir bahwa wajib pajak malah akan melarikan dananya ke bank di luar negeri. Namun, sebagian besar bankir mengaku tak khawatir, karena menurut mereka, nasabah tetap ada di dalam negeri. Hanya saja mereka memilih instrumen keuangan atau investasi yang tidak memerlukan keterbukaan informasi identitas personal.

Konon, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memang secara khusus juga meminta Direktur Jenderal Pajak baru Ken Dwijugiasetiadi yang baru dilantik Selasa lalu (1/3), untuk meningkatkan penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi. Pasalnya, realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak pribadi sangat kecil, hanya Rp 9 triliun di 2015. Padahal, banyak angkatan kelas menengah produktif yang berpotensi menjadi wajib pajak.

Dengan demikian, Dirjen berencana membidik 129 juta jiwa yang masuk kelas menengah. Dari jumlah itu, baru 27 juta jiwa atau 20,9% yang memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP). Selisihnya akan menjadi tugas Dirjen Pajak yang baru yang berencana akan semakin mempermudah masyarakat untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan aplikasi geo tagging yang bisa mengidentifikasi aset si wajib pajak dari video, foto, hingga website. Sebenarnya beberapa waktu lalu, sudah ada juga dalam rencana pemerintah untuk membidik pajak dari non-karyawan, mulai dari pemilik kos-kosan, pengacara, sampai dokter. Namun, belum ada kelanjutan dari rencana ini. Untuk kompensasi semakin banyak wajib pajak yang dirangkul, pemerintah berencana menurunkan pajak penghasilan (PPh). Usulan yang berkembang, PPh badan diturunkan dari 25% menjadi 18%, menyerupai pengenaan pajak di Singapura yang hanya membanderol 17%.

Selain merevisi aturan yang sudah ada, pemerintah juga berniat menyusun Rancangan UU Pengampunan Pajak atau kerab dikenal dengan istilah RUU Tax Amnesty. Harapannya, dana hasil ekspor yang selama ini disimpan pengusaha ke luar negeri, bisa masuk kembali ke Tanah Air (repatriasi). Tarif tebusannya, 2% untuk dana yang dilaporkan tapi tak direpratiasi, dan diskon menjadi 1% untuk modal yang disimpan kembali ke dalam negeri. Menurut pemerintah, dana yang terparkir di luar negeri diperkirakan mencapai Rp 4.000 triliun. Dari dana itu, kemungkinan yang tertarik untuk ikut tax amnesty diperkirakan sebesar Rp 3.000 triliun. Jika benar, pajak yang masuk bisa mencapai Rp 60 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro malah mengatakan, dana tersebut bisa terserap hanya tiga bulan sejak beleid itu disahkan.

Persoalanya, data yang ada masih simpang siur. Pemerintah berpatokan kepada data dari Mckinsey yang belum terperinci secara teknis. Asumsinya, tentu tidak semua dana tersebut yang bisa direpatriasi dengan mudah. Saya menduga, sebagian besar dana tersebut justru berupa dana produktif yang terikat dengan daerah dimana dana itu terletak, sehingga kalkulasi 3000 triliun dari 4000 triliun yang diasumsikan pemerintah terlihat terlalu ambisius dan berlebihan. Dan ini belum termasuk soal ketidakbersediaan para objek Tax Amnesty, baik karena sudah terlalu nyaman berada diluar sistem perpajakan nasional ataupun karena alasan-alasan lainya, termasuk ketakutan diketahuinya asal-usul dana tersebut (bagi objek Tax Amnesty yang takut terjerat pasal pencucian uang).

Pada tataran lain, pengesahan RUU Tax Amnesty nampaknya akan menjadi tantangan politis pertama bagi pemerintah. Pasalnya, ada indikasi DPR ingin menunda pembentukan RUU ini. Hal ini patut juga dimaklumi, toh DPR memang memiliki wewenang untuk itu. Jadi pemerintah jangan terlalu cepat berasumsi bahwa lantaran kocek negara sedang ketat, lalu DPR dianggap akan setuju begitu saja. Dengan kata lain, DPR tentunya tidak akan serta merta setuju atas RUU tax amnesty yang diajukan pemerintah. Toh akan jauh lebih baik bagi DPR untuk mengkaji terlebih dahulu dampak yang akan dan bisa ditimbulkan oleh kebijakan ini sebelum ketuk palu setuju. Konon, pembahasan RUU tax amnesty baru akan mulai dibahas di DPR pada awal April 2016 setelah masa reses.

Di mata pemerintah, “kengototan” untuk merampungkan RUU Tax Amnesty terbentuk tahun ini tentu mimiliki alasan yang sangat kuat dan dapat dipertanggungjawbakan pula. Pasalnya, kekurangan penerimaan pajak akan membawa dua risiko lain. Pertama, risiko fiskal dari kemungkinan shortfall penerimaan pajak. Kedua, risiko defisit anggaran lebih besar jika tax amnesty tidak mendorong penerimaan pajak sesuai harapan.

Bahkan konon Menteri Keuangan pun mengakui bahwa skenario menghadapi ancaman pelebaran defisit sangat tergantung kepada kebijakan tax amnesty. Berhasil atau tidaknya tax amnesty akan menentukan porsi jumlah utang, pemangkasan anggaran, sampai penggunaan sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA) tahun 2015. Pemerintah sejatinya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 menargetkan defisit tahun ini sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto. Dengan asumsi menggunakan SiLPA Rp 20 triliun, pemerintah ingin bisa melebarkan defisit menjadi 293,1 triliun atau 2,31%.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline