Lihat ke Halaman Asli

Meraba Rencana Suku Bunga Lanjutan Bank Sentral Amerika

Diperbarui: 8 Maret 2016   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para petinggi Bank Sentral Amerika Serikat (AS) sepertinya mulai sepakat untuk menunda kenaikan suku bunga. The Federal Reserve khawatir perlambatan ekonomi global ikut berimbas kepada ekonomi domestik AS. Kondisi ekonomi Tiongkok, menurut pejabat The Fed, menjadi sumber terbesar perlambatan ekonomi di negara mitra dagang Negeri Paman Sam seperti Meksiko dan Kanada misalnya.

Selain itu, pembuat kebijakan The Fed juga menilai, ketidakpastian pasar saham terjadi sejak Desember 2015 pasca suku bunga The Fed naik. Nampaknya, peserta Federal Open Market Committee (FOMC) melihat implikasi kenaikan suku bunga bisa meningkatkan ketidakpastian terhadap aktivitas ekonomi domestik, sehingga pelan-pelan isu penundaan kanaikan suku bunga lanjutan mulai menyebar di internal the Fed sendiri. Sementara itu disisi lain, kenaikan suku bunga sebenarnya juga memperlebar spread bunga kredit dan bunga deposito yang akhirnya malah membuat posisi perbankan jadi ambigu.

Tak hanya itu, harga minyak yang terus jatuh disinyalir juga disebabkan oleh likuiditas yang ketat dan perlambatan aktifitas ekonomi. Sejumlah pejabat The Fed nampaknya mulai merasa bahwa perkiraan inflasi AS akan sangat sulit dicapai. Sejak Desember 2015, The Fed memperkirakan inflasi bisa 2% hingga akhir 2017. Faktanya, peristiwa-peristiwa global terbaru membuat target inflasi 2 % akan sangat sulit tercapai secepat proyeksi awal.

Sebelumnya, Gubernur The Fed Janet Yellen sempat mengatakan kepada Kongres AS akan menunda kenaikan suku bunga. Tapi, dia juga menegaskan bahwa bank sentral masih akan menaikkan suku bunga pada tahun ini. Namun jika dilihat kondisi perlambatan ekonomi yang terjadi belakangan ini, diperkirakan akan kembali muncul potensi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga.

Bahkan pada akhir Januari lalu, The Federal Reserve mengimbau pihak perbankan untuk melakukan persiapan menghadapi suku bunga negatif, hanya untuk berjaga-jaga alias sekedar warning dan ajakan. Hal ini adalah kali pertama dalam sejarah AS dimana badan pemerintah dan bank sentral mensyaratkan perbankan untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya yield surat utang AS di level negatif. Menurut rilis yang keluarkan The Fed tertanggal 28 Januari, skenario ini murni hipotesis dan bukan prediksi. Meski demikian, perkembangan ini sudah menjadi bagian dari skenario besar dunia dimana suku bunga nol mulai bergeser menjadi suku bunga negatif.

Perubahan arah kebijakan suku bunga ini merupakan efek domino dari kebijakan suatu negara. Ilustrasinya begini, sebuah negara yang mengalami perlambatan ekonomi memutuskan bahwa salah satu cara terbaik untuk mengangkat kembali ekonomi adalah dengan mendevaluasi nilai mata uang dan mempermurah biaya ekspor sehingga membuat negara mereka lebih menarik ketimbang negara yang memiliki yield mata uang yang lebih tinggi dan memiliki daya beli yang kuat.

Kesuksesan yang didulang negara tersebut kemudian mulai dicontoh oleh negara lain. Sehingga untuk bertahan di permainan semacam ini, bank sentral dunia terus melakukan devaluasi hingga tidak ada lagi yang tersisa. Akhirnya, untuk mendevaluasi, dipilihlah strategi suku bunga negatif. Dalam jangka pendek, sepertiga dari surat utang sebuah negara akan memiliki yield negatif. Pada gilirannya, kebijakan yang dinilai ampuh untuk menstimulasi kredit dan pertumbuhan negara yang berbasis ekspor akan menjadi kebijakan tak berarti yang terus dilakukan bank sentral.

Seperti yang belum lama ini dilakukan Bank of Japan misalnya. Tiba-tiba, kebijakan suku bunga nol (zero interest rate policy/ZIP) berubah menjadi kebijakan suku bunga negatif (negative interest rate policy/NIRP). Kebijakan NIRP ini sudah diterapkan Jepang pada awal Februari lalu. Hasilnya, tingkat yield surat utang pemerintah Jepang berjangka waktu 10 tahun menjadi negatif pada Senin (8/2) lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah. Tak pelak, muncul kecemasan baru bahwa the Federal Reserve juga akan segera mengambil kebijakan moneter berkategori sama.

Namun saya kira, kemungkinan The Fed untuk memberlakukan NIRP (setidaknya saat ini) masih sangat kecil. Pasalnya, the Federal Open Market Committee, baru saja menaikkan target suku bunga acuannya pada Desember untuk kali pertama dalam sembilan tahun terakhir. Sehingga, mengubah kebijakan tersebut akan menjadi kemunduran yang mengejutkan. Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa ada sejumlah petinggi The Fed yang sempat melontarkan ide tersebut.

Dalam pidatonya pada minggu pertama bulan Februari misalnya, Wakil Pimpinan The Fed Stanley Fischer mengatakan bahwa percobaan Eropa terkait suku bunga negatif bekerja lebih baik dari yang diharapkan. Tak pelak, pernyataan tersebut malah menimbulkan spekulasi bahwa bank sentral AS juga tengah mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan yang sama. Suku bunga negatif di Amerika akan dimulai dengan pembayaran bunga atas kelebihan cadangan yang disimpan perbankan di The Fed. Nilainya saat ini mencapai US$ 2,15 triliun dengan bunga 0,5%. Dengan suku bunga negatif, maka perbankan akan dikenakan biaya saat menyimpan dana di bank sentral.

Hal ini tentu akan membuat perbankan enggan menyimpan dananya. Sehingga, pilihan yang tersisa adalah menyalurkan dana tersebut ke sistem perekonomian melalui pinjaman dan diperkirakan akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Namun masalahnya, ide semacam ini hanya menarik pada tataran teori saja. Setidaknya ada beberapa masalah yang akan muncul dari pemberlakuan kebijakan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline