Lihat ke Halaman Asli

Meraba Harga Minyak Dunia 2016

Diperbarui: 7 Maret 2016   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, departemen commodity strategy RBC Capital and Global Markets pernah mengungkapkan tentang tiga skenario kemungkinan harga minyak untuk tahun ini, terutama untuk varian WTI. Pertama adalah skenario bullish di mana terjadi pengurangan cadangan minyak yang mencapai 1 juta barel. Kondisi ini diperkirakan bisa memacu harga minyak bergerak ke kisaran US$ 60 per barel.

Skenario kedua adalah skenario terburuk yang melibatkan produksi minyak besar-besaran dari OPEC, Arab Saudi, Iran dan Libya di pasar minyak dunia, disamping ledakan shale oil dari kawasan Amerika Utara. Tak pelak lagi, hal ini akan menyebabkan harga minyak tergerus kian dalam. Sehingga tak heran jika Golman Sach dan Morgan Stanley membuka kemungkinan prediksi bahwa harga berpeluang merapat ke level US$20 per barel. Dan ketiga adalah skenario lain yakni terciptanya keseimbangan pasar minyak pada paruh kedua 2016.

OPEC pun pada penghujung tahun lalu memperkirakan harga minyak 2016 akan naik US$ 5 per barel, diasumsikan ada di level US$ 60 dan di 2020 mencapai US$ 80. Jika diteliti lebih detail, ketika itu OPEC tidak menggunakan kata prediksi, tapi lebih cendrung menyebut angka-angka proyektif tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world oil outlook yang dirilis 23 Desember 2015 lalu.

Selain itu, IMF juga membuat pernyataan bahwa harga minyak bisa tercukur US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi Iran akibat dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika Serikat dan Eropa. Sejatinya, sebelum mengutip secara serampangan proyeksi-proyeksi yang muncul ini, ada baiknya harus dibedakan terlebih dahulu antara pernyataan “harga minyak berkemungkinan bisa menyentuh level tertentu” dan pernyataan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran tertentu”.

Kedua pernyataan ini sekilas terkesan sama, tapi secara substansial sangatlah berbeda. Harga bisa saja menyentuh $15-20 per barel dalam tahun ini, tapi belum tentu harga rata-rata sepanjang tahun ini adalah $15-20 per barel. Jika bicara harga akan turun sampai level tertentu, maka faktanya setiap hari harga minyak bisa berubah, bahkan bisa saja jatuh dibawah level yang diperkirakan. Nah pertanyaannya, berapa lama harga akan berada pada level tersebut?

Dialektika proyeksi harga minyak yang berkembang belakangan memang sangat menarik untuk disimak dan diperdebatkan. Semua pihak punya komentar dan analisa sendiri-sendiri tentang batas bawah (support/ floor price) pergerakan harga minyak untuk tahun ini, lengkap dengan berbagai data fundamental dan kalkulasi-kalkulasi grafis-teknikal. Bahkan pertengahan tahun lalu, hampir semua pihak sepakat bahwa harga tidak akan sanggup menjebol angka $40 per barel. Ada indikasi yang mendukung proyeksi ini ketika itu karena harga minyak sempat mengalami recovery sederhana, tetapi justru setelah itu harga malah kembali turun hingga ke bawah US$ 40 per barel

Sehingga dunia prediksi dan proyeksi menjadi semakin hangat dan menarik, karena akan memunculkan tebakan baru soal floor-price selanjutnya setelah batas psikologis US$ 30 per barel tembus. Mengapa? Karena faktor kebiasaan pasar saja. Tendensi tebakan akan sama ketika harga minyak cenderung naik. Secara psikhologis para pihak akan cenderung menerka ke angka tertinggi mana lagi harga akan bergelayut.

Jadi tidak heran ketika pertengahan tahun 2008 lalu, ketika harga minyak mencapai US$ 140 per barel, banyak pihak yang terbawa lebay, lalu ikut-ikutan memasang angka target prediksi di level US$ 200 per barel, bahkan ada yang lebih ekstrim, yakni US$300- 400. Sebagaimana yang sama-sama telah disaksikan, harga tersebut tak pernah tercapai, sekalipun untuk level US$ 200. Nah, situasi yang sama ketika harga minyak terjun bebas, secara psikologis para analis akan berlomba-lomba untuk memasang tebakan batas bawah yang akan dituju oleh harga (floor-price).

Minyak, sebagaimana komoditas lainnya, juga memiliki beberapa faktor sebagai penentu harga. Setidaknya, berdasarkan referensi yang ada, terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga minyak, yaitu: pasokan (supply), permintaan (demand), pasar (market), dan persediaan (inventory). Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non OPEC, situasi geopolitik, biaya aktifitas hulu, kinerja dan perkembangan teknologi dan lain-lain. Sementara itu, faktor permintaan akan dipengaruhi oleh harga minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif, subsidi, dan lain-lain.

Faktor pasar akan terbentang diantara pasar minyak yang sesungguhnya (physical market) dan pasar finansial (paper market). Physical market bisa dalam bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak digunakan, yakni kisaran 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.

Sedangkan paper market adalah dinamika pasar minyak yang terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen derivatif di pasar finansial. Pada awal tahun 1990-an, kegiatan di pasar minyak derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai (hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan minyak.Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi peningkatan transaksi “minyak kertas” di pasar komoditas global, bahkan belakangan muncul pula para investor yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan aktivitas perminyakan maupun aktifitashedging.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline