Suatu pagi beberapa waktu yang lalu, seorang kawan mengirimkan berita tentang seorang wakil ketua DPRD kota Padang yang terkena razia judi. Yang bersangkutan diciduk ketika sedang asyik berjudi di pos ronda komplek pemukiman dimana beliau tinggal. Ini entah kali keberapa saya mendengar dan membaca berita dengan genre yang sama, atau setidaknya dengan genre yang mirip-mirip tipis. Miris memang, sosok yang dengan bahagia dipilih oleh konstituen atas nama realisasi kedaulatan rakyat, ternyata berulah tak ubahnya penikmat-penikmat selangkangan di lokalisasi yang setelah berpesta pora dengan paha dan dada, lalu membuang uang yang entah didapat dari mana diatas meja judi tanpa sedikitpun berpikir siapa yang menitipkan kemegahan duniawi itu kepadanya.
Kadang-kadang saya terbawa iseng bertanya, apakah sebelum yang bersangkutan melangkahkan kaki ke lokasi yang demikian, atau sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk ikut berjudi, misalnya, apakah beliau sempat berpikir tentang amanat yang diberikan oleh pemilihnya? Berpikir tentang tauladan-tauladan yang harus beliau pertontonkan kepada publik di daerah? Mengapa harus saya tanyakan itu? Karena yang bersangkutan adalah orang pilihan didaerahnya, orang yang dipilih dan dipercaya untuk mewakili ribuan lidah dan suara agar bisa menyala didalam sistem kekuasaan lokal dan selayaknya berjuang habis-habisan untuk memformulasikan aspirasi-aspirasi pemilihnya menjadi kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan. Bukan hanya itu, orang-orang yang telah lolos seleksi demokratik dengan suka rela harus menjadi tauladan di daerahnya, dalam segala hal. Ini risiko satu paket dari fungsi-fungsi kekuasaan yang melekat didalam dirinya. Pasalnya, logika keterpilihan biasanya mengandung keunggulan-keunggulan personal, baik pendidikan, watak dan kebiasaan, integritas dan track record, yang kesemuanya dibungkus dengan moralitas yang layak ditauladani publik, minimal ditauladai para pemilihnya.
Bukankah itu urusan pribadi alias privasi? Risiko menjadi pejabat publik ataupun sosok yang mewakili kepentingan publik adalah menyempitnya ruang privasi, ini adalah hukum sosial yang standard karena mereka adalah selebriti politik di daerahnya dan senantiasa akan disorot dari berbagai sisi. Selain itu, yang saya pahami, untuk daerah seperti Sumatera Barat, memang aktifitas judi dan kehidupan dunia malam diawasi dengat sangat ketat. Sehingga wajar jika akhirnya terjaring oleh razia. Masalahnya, yang bersangkutan pasti paham aturan main didaerahnya, namun tetap saja dilanggar. Apakah karena arrogansi kekuasaan atau merasa bergerak out of the law, belum ada jawaban pasti.
Tapi okelah, kembali ke topik soal birahi kekuasaan yang selalu naif tadi. Selain mengandung potensi korupsi sebagaimana seringkali diungkapkan Lord Action, power tend to corrupt, kekuasaan juga terkadang menyimpan birahi-birahi yang susah dipahami logika publik. Apa yang terjadi pada malam itu di Padang hanya representasi kecil dari birahi-birahi kekuasaan yang bergerak ke jalur anomali. Kejadian ini tak ubahnya dengan cerita-cerita para celebritas yang doyan berdekatan dengan para wakil rakyat, bahkan belakangan kasusnya melebar menjadi prostitusi para artis. Kalangan selebritis yang terjerumus ke dalam jejaring kekuasaan ini paham betul pangsa pasar yang berbau kekuasaan adalah pangsa pasar tetap dan sangat basah, bahkan boleh dibilang pangsa pasar "captive". Pangsa pasar ini dihuni oleh segmen yang hidup didalam keberlimpahan, mudah mendapatkan sumber daya untuk kemudian dipindahkan ke saku para penjaja cinta atau ke meja-meja judi.
Nah, karena begitu mudahnya para cecunguk-cecunguk kekuasaan ini untuk bermain-main dengan kekuasaanya, maka keberlangsungan anomali-anomali praktek kekuasaan itu begitu vulgar terjadi. Moralitas tergadai, hasil penggadaiaan itu dibelanjakan untuk kenikmatan-kenikmatan sesaat. Ini transaksi yang sangat membahayakan demokrasi, bahkan bisa membahayakan kehidupan publik. Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat atau sebut saja seorang pejabat publik akan bekerja dengan sungguh-sungguh jika didalam otak dan hatinya hanya berisi cerita tentang bagaimana memainkan kekuasaan untuk kesenangan pribadi.
Menangani birahi naif kekuasaan saja mereka tak mampu, apalagi memperjuangkan kehidupan ribuan, bahkan ratusan ribu, para pemilihnya? Ada apa dengan seleksi para calon penguasa? Ada apa dengan partai politik yang membuahinya? Ada apa dengan sistem dan tata kelola pemilu yang telah meloloskannya? Dan banyak pertanyaan lainya. Hukum memang bicara, tapi rasanya yang terjerat hanya sebagian kecil dari yang ada. Yang masuk berita, yang terjaring razia, adalah puncak gunung es yang menyimpan sejuta dosa dijejaring yang sama. Yang terjadi di Padang adalah peristiwa yang berlangsung di daerah yang dilarang melakukan perjudian. Lalu bagaiamana dengan daerah yang tidak memiliki aturan lokal seperti itu? Miris, mungkin juga tragis, entahlah, saya sudah mulai kerepotan membedakanya.
Jika saya yang tidak punya kuasa ini saja bisa kerepotan membedakan, maka pantas saja mereka yang berkuasa itu linglung membedakan antara mana yang layak diperbuat dan mana yang tak layak. Semisal membedakan apakah pantas seorang anggota dewan membuka situs film porno disaat sidang berlangsung, misalnya. Atau apakah seorang politisi pantas mendatangkan artis-artis kelas "lendir" untuk melemaskan otot-ototnya yang terlalu cape bekerja untuk rakyat? Ataupula apakah seorang politisi pantas menerima sogokan berupa wanita gratifikasi? Atau menyimpan istri kedua dan ketiga yang baru seumuran jagung besutan pesantren ini dan itu?
Lalu mengapa mereka memilih menjadi politisi, bukan memilih karir menjadi "germo", atau menjadi pengusaha sholeh dengan istri empat, atau menciptakan aplikasi layanan lendir untuk menyaingi Gojek dan GrabBike agar bisa berbagi dengan mudah diantara sesamanya, misalnya? Atau berkarir sebagai penjudi handal di Genting dan Macau? Dll. Apakah mereka salah karir? Atau mereka hanya korban dari aura negatif kekuasaan yang melekat pada dirinya sebagai politisi berkaliber wakil rakyat? Korban? Iya, korban yang sengaja memilih menjadi korban agar tak terlalu disalahkan soal moralitas dan personalitasnya.
[caption caption="siefa.com "][/caption]Entahlah. Tapi pesan moralnya tentu harus kita ambil, politik itu selain cendrung koruptif. Juga cendrung meningkatkan libido seksual dan hasrat untuk berhura-hura. Ini akan makin memperparah rencana kerja perbaikan negara dan pemerintahan ke depan, pastinya demikian. Tapi ya sudahlah, terkadang jika kita memilih untuk tak memikirkannya, itu terasa jauh lebih baik. Sehingga kita bisa dengan tenang mengatakan, ah biarkan saja, toh mereka bukan siapa-siapa. Saya pikir opsi ini cukup baik untuk kita sebagai rakyat, daripada harus selalu terlibat dalam aksi pribadi mempopulerkan lagu Cita Citata, sakitnya tuh disini, lebih baik diamkan saja, tak perlu dianggap, bahkan jika mereka mati diselangkangan wanita atau dimeja judi, ya diamkan saja, sampai mereka paham betapa sakitnya didiamkan. Selamat mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H