Lihat ke Halaman Asli

BRORIVAI_Center

Kehadiran lembaga BRC pada dasarnya untuk kemajuan Sulsel

Benarkah Pragmatisme Politik Menghadirkan Kepemimpinan Otakratis?

Diperbarui: 16 Juni 2019   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Abdul Rivai Ras | Alumnus National Security Leadership, Elliot School of International Affairs, GWU


Pesta demokrasi di negeri tercinta usai digelar. Kali kesekian rakyat Indonesia telah memilih wakilnya yang akan memimpin negeri ini untuk periode berikutnya. Itu pun warga yang belum merasa frustasi dan masih peduli pada nasib negerinya sendiri. Bila pada periode lalu rakyat sepertinya lagi-lagi harus terkecoh, salah pilih, dan menelan pil pahit karena kecewa menyaksikan pemimpin pilihannya melenceng dari idealismenya.

Namun kali ini rakyat seharusnya kian cerdas dan tak boleh jauh dari harapan, meskipun dari sejumlah pilihan yang ada banyak diwarnai dengan pragmatisme politik dalam melahirkan pemimpin. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah dampak dari pragmatisme politik itu bagi kepemimpinan masa depan bangsa kita? Bagaimana menyikapi dalam mencegah potensi matinya demokrasi?

Mari kita menelusuri makna pragmatisme politik dalam berbagai referensi dan pengalaman sejarah yang kemudian mendorong gaya kepemimpinan yang jauh dari konsep demokratis -- partisipatif.

Menurut John McGowan (2012) yang menulis tentang "Pragmatist Politics" mengemukakan bahwa, di zaman sinisme saat ini kita perlu mencermati secara tepat perkembangan pragmatisme politik. Meskipun dalam buku ini menggambarkan tentang pemikiran demokrasi dan pendekatan pragmatisme bangsa Amerika, namun studi ini sangat relevan menjadi pembanding dalam menatap perkembangan politik di Indonesia.

Esensi pemikiran ini terpaut dengan politik pragmatis dimana adanya kombinasi pragmatisme dan komedi yang kelak membawa kita pada penjelajahan luas tentang apa yang dirasakan dalam dunia politik sesuai dengan kepribadian dan benar-benar dapat mencerminkan nilai-nilai (values) kehidupan bangsa.

Artinya pragmatisme politik bagi banyak negara saat ini bukanlah sesuatu yang diharamkan, akan tetapi mungkin saja bisa terjadi karena pemaknaan liberalisme yang dinamis menjadikan politik sebagai sarana meraih keuntungan sepihak dan kepentingan derivatif.

Dari pemikiran McGowan sendiri sesungguhnya menjelaskan bahwa sejarah demokrasi sebagai cara hidup, ditandai oleh etos yang berbeda dan berdasarkan pada pemahaman tentang politik sebagai agen kolektif yang berpotensi efektif. Cita-cita demokrasi itu dinilai melekat pada liberalisme yang berfokus pada perluasan manfaat demokrasi dan kesejahteraan materi bagi semua orang.

Di luar kasus intelektual bagi demokrasi liberal, McGowan memandang bagaimana keselarasan dengan cara-cara seruan emosional yang sering kali mengalahkan persuasi melalui argumen. Dan ia kemudian meneliti salah satu karya Kenneth Burke tentang hubungan antara demokrasi liberal dan pandangan komik tentang kehidupan manusia.

Dalam komedi, McGowan mencatat bahwa langkah pragmatis sangat memungkinkan terjadi dengan pertimbangan tema cinta, pengampunan, dan kemurahan hati yang notabene sangat jarang ditemui dalam catatan filosofis politik. Karena itu, bukankah hal yang baru dimana isu pragmatisme menjadi sesuatu momok yang seringkali menjadi bahaya dalam politik dan dapat berdampak pada gaya kepemimpinan seseorang.

Sementara itu, pragmatisme politik menurut kamus politik umum dapat diartikan sebagai sikap dari politisi yang bersifat pragmatis yang mana menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Pragmatisme politik menganggap bahwa berpolitik merupakan cara mudah untuk meraih status sosial terhormat, kedudukan dan jabatan tinggi serta kemampuan ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline