Menyeberangi jembatan kayu tua reyot tak layak itu, dipapah oleh tali-tali bercendawan yang kadaluwarsa. Papan pijakan meratap tak kuat menahan langkah merayap Sang Penyeberang.
Jembatan itu berayun-ayun ke kiri- ke kanan dan ke atas- ke bawah bak riak gelombang aliran sungai kecil di bawahnya.
Simpul ikatan tali dan kayu jembatan tak lagi akurat, sesekali membuat jembatan itu bersuara sumbang, merusak romansa alunan air Sang Loka (sungai).
Tak sampai di ujung jembatan, langkah kaki Sang Penyeberang terhenti di tengah, berada tepat di tepi-tepi, mengubah sisi jembatan menjadi miring, berat sebelah.
Takut kah ia tuk sampai tuk menyeberangi jembatan?, atau jatuh kah ia kepada sang Loka?. Sang Penyeberang keberatan dengan pertanyaan itu.
Sekedar untuk diucapkan, menyeberang ialah hal yang mudah, tapi untuk sekedar dilakukan tak semudah membuang air ludah. Lebih dari sekedar-sekedar itu.
Roman-roman tuk sampai ke seberang. Sang Penyeberang tak tega dengan derita jembatan kayu yang reyot itu. Ia tak takut jatuh pada Sang Loka, lihai menyeberang, ia bisa berenang.
Loka Romansa berkelit dengan kalut jembatan kayu tua. Berdiri bulu roma, terjun bebas ke arah Sang Loka, mencumbu air lalu menderu.(briyan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H