Perdagangan hewan liar telah menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati di Indonesia. Negara kepulauan dengan kekayaan alam yang melimpah ini sering menjadi sasaran perdagangan ilegal untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun internasional. Kasus-kasus perdagangan hewan liar yang telah terjadi di Indonesia mencakup berbagai spesies, mulai dari burung hias, reptil eksotik, mamalia besar seperti gajah dan badak, hingga primata seperti orangutan.
Maraknya perdagangan satwa liar dikarenakan atas tingginya selera konsumen akan kepuasan tersendiri. Misalnya, bagi beberapa orang, memelihara burung eksotis sensasinya berbeda dengan burung jenis biasa. Sebagian lagi membeli satwa liar karena masih mempercayai mitos, seperti bagian tubuh beberapa satwa yang dipercaya berkhasiat dalam menyembuhkan berbagai penyakit. Akibatnya, ekosistem satwa menjadi rusak karena perilaku manusia. Hal ini menjadikan bisnis satwa ilegal bersama dengan perdagangan manusia dan narkotika sebagai kejahatan paling besar di dunia.
Banyak hewan langka yang dijual secara ilegal (tanpa izin resmi) dan ditangkap dan diselundupkan dengan cara yang mengerikan. Misalnya, burung kakatua jambul kuning diselundupkan ke dalam botol plastik beberapa tahun yang lalu. Di beberapa tahun terakhir, para pedagang satwa licik telah menjadi lebih sering menggunakan metode penyelundupan ilegal ini.
Menurut organisasi perlindungan satwa liar ProFauna Indonesia, lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar domestik adalah tangkapan langsung dari alam, bukan produk penangkaran. Perdagangan satwa secara ilegal berdampak negatif pada keseimbangan ekosistem makhluk hidup di alam.
Salah satu pasar satwa ilegal di Bandung, yaitu Pasar Sukahaji menjadi tempat destinasi para kolektor satwa untuk mencari hewan peliharaan secara ilegal. Pasar Sukahaji mudah diakses karena berada di pinggir jalan. Pasar Sukahaji menjual berbagai jenis burung, terutama berbagai jenis burung yang dilindungi. Satwa ilegal yang paling sering dibeli di pasar ini biasanya jenis burung langka seperti gelatik jawa, parkit australia, pelatuk tunggir emas, murai batu, dan kakak tua jambul kuning. Selain itu, ada jenis mamalia atau primata yang dapat dipelihara oleh manusia untuk kesenangan.
Kasus kedua, pertengahan Juni 2017, Polres Tanjung Priok, Jakarta, berhasil menggagalkan penyelundupan reptil dari Papua. Dua pelaku langsung diamankan, meski berada di tempat terpisah. Dari tangan pelaku disita masing-masing 279 individu dan 40 individu reptil. Umumnya, reptil yang hendak diselundupkan adalah berbagai jenis ular seperti green tree python chondro, mono pohon, patola phyton, gold albert, dan mono tanah. Para pelaku saat ini tengah menjalani proses penyidikan. Mereka dijerat Undang-Undang No 16 Tahun 1992 dengan ancaman hukuman maksimal 3 tahun penjara.
Selain burung hias yang cantik dan reptil eksotik, komoditas perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia adalah primata. Primata Indonesia menghadapi ancaman kepunahan karena perdagangan ilegal dan berkurangnya habitat mereka. Protection of Forest and Fauna (Profauna) mencatat ada 35 kasus kejahatan terhadap satwa liar sepanjang tahun 2014. Sejumlah kasus itu melibatkan sedikikitnya 400 ekor primata.
Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2022 terdapat oknum yang memperjual belikan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di medsos. kasus ini berawal dari monitoring yang dilakukan oleh Subdit Cyber Ditreskrimsus Polda Sumut terhadap akun media sosial (medsos) pelaku yang menawarkan Orangutan seharga Rp.23 juta. Satwa tersebut masih anakan dan diperkirakan masih berumur 4 bulan. Pada saat penangkapan, pelaku Thomas Raider Chaniago dan 4 orang lainnya berada dalam satu mobil yang membawa Orangutan di Perumahan Cemara Asri di kota Medan. Diduga pelaku yang diamankan termasuk yang berperan sebagai pemburu Orangutan dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Dampak perdagangan satwa liar dapat mempengaruhi beberapa aspek. Beberapa aspek paling terdampak akibat perdagangan satwa liar antara lain yaitu dapat mengancam keberlangsungan hidup satwa spesies-spesies yang terancam punah dan juga mengakibatkan kerusakan ekosistem hayati karena apabila terdapat spesies yang berkurang atau bahkan punah maka kehidupan seluruh ekosistem di alam liar akan berubah dan tentu akan mempengaruhi keragaman genetik pula.
Dampak lain dari penangkapan dan perdagangan satwa liar yaitu dampak secara sosial dan ekonomi. Apabila keragaman hayati berkurang dan ekosistem alam liar terganggu maka dapat terjadi penurunan pendapatan dari pariwisata alam dan juga dapat mengubah kehidupan masyarakat yang hidup dari hasil alam.
Untuk mengatasi permasalahan perdagangan satwa liar di Indonesia terdapat beberapa solusi yang bisa dilakukan. antara lain yaitu :