Lihat ke Halaman Asli

Brilliant Danu

Mahasiswa Teknik Kelautan ITS

Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematic) dalam Konsep Pengelolaan, Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Pesisir Berkelanjutan

Diperbarui: 16 Juni 2024   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.its.ac.id

Wilayah lautan dan pesisir termasuk pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beragam dan memiliki peran penting sebagai penyangga ekonomi, sosial, lingkungan, serta budaya. Dengan potensi tersebut, menjadikan semakin meningkatnya upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut oleh banyak pihak. 

Namun disisi lain menimbulkan kekhawatiran terhadap metode pengelolaan yang kurang berwawasan lingkungan dan penggunaan teknologi yang tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan degradasi wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan bagi sebagian orang belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Tentu hal tersebut akan mempengaruhi kondisi dan kelestarian sumber daya kelautan yang ada.

Jika diperhatikan lebih jauh, berbagai persoalan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, di antaranya: Peraturan perundangan yang ada membatasi daerah dalam menetapkan suatu kebijakan pengelolaan, sebagaimana kondisi saat ini di mana kewenangan daerah untuk pengelolaan wilayah pesisir di level kabupaten/kota sudah tidak diberikan lagi; Pemanfaatan yang cenderung bersifat sektoral sehingga terkadang kita temui kebijakan yang overlap; Adanya konflik pemanfaatan antar beberapa stakeholders, sebagai contoh kawasan konservasi yang harus dirasionalisasi untuk kebutuhan pembangunan seperti pelabuhan. 

Tantangan lainnya yang tidak kalah penting adalah kualitas Sumber daya Manusia (SDM) khususnya di wilayah pesisir. Mayoritas masyarakat pesisir masih ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut yang sering kali melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumber daya alam sebab tidak dibarengi dengan pengetahuan terhadap IPTEK, seperti penebangan dan konversi mangrove ataupun penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang merusak ekosistem.

Seluruh potensi sumber daya kelautan yang ada baru dapat di maksimalkan untuk kepentingan yang lebih luas jika didukung dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. 

Oleh karena itu pemerintah saat ini memiliki kebijakan yang cukup berpihak ke sektor maritim dengan merumuskan visi pembangunan yang berbasis maritim dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut cukup berdasar melihat Indonesia yang juga memiliki potensi maritim berupa perairan yang dijadikan salah satu perlintasan internasional, dimana lokasi kepulauan nusantara merupakan persilangan alur lalu lintas laut yang menghubungkan benua bagian Timur dan Barat. Diharapkan dengan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan mendorong optimalisasi pembangunan disektor kelautan dan perikanan. 

Fahmi (dalam Hasbullah, 2022) menjelaskan pilar utama agenda pembangunan maritim Presiden Joko Widodo, meliputi: Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia; Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama; Ketiga, komitmen untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, industri logistik dan pelayaran, serta pariwisata bahari; Keempat, diplomasi maritim yang mengajak seluruh mitra Indonesia untuk bekerja sama di sektor maritim; Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia harus membangun kekuatan pertahanan maritim.

Pilar utama pembangunan maritim tersebut menggambarkan besarnya potensi maritim yang dimiliki Indonesia, untuk itu pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi maritim yang ada akan dapat dimaksimalkan melalui konsep blue economy yang tidak terfokus hanya pada ekploitasi saja tetapi juga menjaga keberlanjutan potensi dan sumberdaya yang ada. Blue economy adalah proses dimana bahan baku berasal dari alam dan proses produksi mengikuti cara alam bekerja. 

Blue economy merupakan salah satu alat yang dapat digunakan memperbaiki perekonomian saat ini dengan lebih memperhatikan sustainability. Konsep yang dikembangkan untuk menjawab tantangan system ekonomi dunia yang cenderung eksplotatif dan merusak lingkungan sebab melebihi kapasitas dan daya dukung lingkungan. Blue economy merupakan perkayaan dari konsep green economy dengan semboyan "Blue Sky -- Blue Ocean" dimana Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap biru (Ilma, 2016).

Konsep yang sudah ada baik itu blue economy maupun ICZM, tidak akan terwujud jika tidak ditopang dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan manajemen professional secara tepat dan benar. Hal tesebut disampaikan oleh Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc., PhD dalam acara Profesor Summit ITS di Surabaya beberapa waktu lalu. Persoalan pengelolaan sumber daya alam baik di darat maupun di laut masih cenderung bersifat merusak dan tidak mengedepankan keberlanjutan ekosistem, hal tersebut mencermikan penerapan IPTEK yang kurang maksimal sehingga dibutuhkan peran berbagai pihak, utamanya dunia pendidikan untuk mendukung pemanfaatan dan pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) melalui IPTEK dan manajemen professional.

World Bank dalam The Potential of The Blue economy mendefinisikan blue economy merupakan model pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan yang mencakup berbagai sektor diantaranya perikanan, budidaya perairan, pariwisata, dan energi terbarukan (De et al., 2017). Model tersebut diarahkan untuk menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya laut dan pelestarian ekosistem. Konsep blue economy dikemukakan pertama kali oleh Prof. Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul The Blue Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, yang menggambarkan potensi manfaat teorinya bagi perlindungan lingkungan hidup komunitas dunia, pelestarian sumber daya alam, pengalihan konsumsi energi hijau, bersih, hasil daur ulang atau terbarukan sebagai inisiatif pengurangan biaya industri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline