Pergeseran tren belanja masyarakat di Indonesia membuat sejumlah toko ritel mengalami gulung tikar atau yang sering dikenal dengan istilah bangkrut. Sebab dewasa ini masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan jasa penjualan berbasis online seperti E-Commerce atau Market place daripada pasar tradisional (Offline).
Perubahan tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi telah terjadi juga di seluruh belahan dunia lainnya dan akan terus terjadi mengikuti perilaku manusia modern yang mudah dan efisien. Akibatnya, beberapa industri dan bisnis terpaksa atau dipaksa untuk beradaptasi.
Ekspansi bisnis ke dunia digital atau online bukan lagi menjadi pilihan tetapi sudah menjadi keharusan yang harus disegerakan. Mudahnya menjalankan bisnis online mengakibatkan ledakan jumlah toko online di seluruh dunia. Modal kecil, tanpa resiko kerugian, membuat toko online dalam beberapa menit dan peluang keuntungan besar, menjadi beberapa alasan banyak orang untuk terjun ke bisnis online dengan menggunakan hosting murah yang banyak ditawarkan di Indonesia.
"Bahwa hal tersebut adalah persaingan yang tidak adil,lantaran pemerintah harus mengatur pajak dan regulasi terkait persaingan antara online dengan yang offline. Ia juga menambahkan bahwa untuk memiliki toko offline saja,perusahaan ritel harus menepati 50 ijin penjualan sebelum mendirikan toko". Jelas Wakil ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Tutum Rahanta.
Banyak sekali contoh toko-toko ritel di Indonesia yang harus menutup gerainya karena mengalami kebangkrutan akibat adanya pergeseran tren belanja masyarakat Indonesia, antara lain 7-Eleven, Disc Tarra, Lotus, Matahari dibeberapa daerah,dan yang paling terbaru ditahun 2018 yaitu PT. Sariwangi SAEA.
Banyak faktor -- faktor yang mempengaruhi kebangkrutan toko ritel, seperti persaingan antar pusat perbelanjaan cukup ketat, di mana setiap pertumbuhan kawasan hunian baru, perkantoran, hingga kawasan industri, selalu dibarengi munculnya pusat-pusat perbelanjaan baru, belum juga belanja belanja online yang ikut mempengaruhi, Parahnya lagi banyak masuknya barang-barang ilegal dari luar negeri yang masuk. Seperti misalnya alat-alat elektronik, hingga pakaian bekas.
Kondisi itu dianggap tidak selaras dengan klaim pemerintah. Disebut bahwa perekonomian dalam negeri tengah membaik. Masih ada lagi toko ritel lain yang tumbang, Menyusul toko ritel pendahulunya.
Merespon hal itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro menyebut kondisi itu tak lepas dari peran digitalisasi. "Iya, tapi kan kita juga harus perhatikan pengaruh dari digitalisasi. Itu sesuatu yang gak bisa dihindari lagi," ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut tidak hanya terjadi Indonesia. "Di seluruh dunia juga, apalagi di Amerika Serikat yang gede-gede aja tutup," tambahnya. Disamping itu,beliau menyebut toko-toko ritel itu tidak bisa beradaptasi terhadap perubahan zaman. Padahal, jika para pelaku usaha mampu menyesuaikan diri dengan zaman dan diterapkan pada bisnis, Bambang optimis toko-toko ritel mampu bertahan."Kita bukan mau membela diri tapi memang yang pelaku ekonomi yang bisa survive adalah pelaku ekonomi yang adaptif. Dia bisa cepat membuat skemanya offline dan online," pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginstruksikan para pejabat eselon I Kementerian Keuangan dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai untuk meracik formulasi yang mengatur terkait dengan perubahan pola usaha dari konvensional ke digital. Hal tersebut menjawab terkait banyaknya ritel berguguran lantaran adanya perubahan pola perdagangan di Indonesia.
"Ritel, pemerintah secara umum katakan bahwa kami akan ciptakan momentum pertumbuhan ekonomi, tentu dalam hal ini ada yang bisa baik karena tren yang baru mereka bisa dapat momentum untuk tumbuh tapi juga bisa berubah," kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan pada Detik.com (25/10/2017).