Lihat ke Halaman Asli

Briliant A. Prabowo

Postdoctoral fellow - INL - International Iberian Nanotechnology Laboratory, Portugal

Kontribusi Internet Terhadap Krisis Energi

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13515168561596730058

Pada kolom teknologi New York Times 22 September yang lalu, diulas dengan gamblang bagaimana dunia digital dan internet yang tak pernah tidur, berkontribusi pada polusi dan konsumsi energi yang luar biasa besar. Tak bisa dipungkiri era dunia maya yang semakin memudahkan manusia dalam bentuk apapun, kapanpun dan dimanapun adalah akar masalah dari isu energi dan polusi yang terjadi.

Majalah Times mengungkap keperluan data center untuk hidup setiap saat, dapat menkonsumsi lebih dari 90% listrik dari grid (jala-jala listrik). Dari keseluruhan listrik yang digunakan pada data center hanya 6-12% diantaranya untuk mensuplai komputasi, dan sisanya hanya untuk menjaga server dalam kondisi idle dan standby jika terjadi lonjakan aktivitas tak terduga yang dapat memperlambat atau membuat server crash, termasuk daya untuk sistem pendingin yang tentu juga harus berjalan 24 jam setiap hari.

Diperkirakan di seluruh dunia, diperlukan daya mencapai 30 milyar Watts untuk menghidupi "dunia maya" supaya dapat terus berlangsung, dimana daya sebesar itu setara dengan 30 pembangkit listrik nuklir. Diantaranya data center perusahaan-perusahaan komersial yang memaksa mendekati 100% operasi server mereka seperti perbankan, media sosial, asuransi, media online dan lain sebagainya. Sebut saja raksasa online Google mengkonsumsi daya sekitar 300 mega Watt dan Facebook mencapai 60 mega Watt. Belum lagi kebutuhan data center untuk bursa efek, diperkirakan di Bursa Efek New York, setiap hari sekitar 2 Terrabytes data dihasilkan, dan data tersebut harus disimpan dalam beberapa (puluhan) tahun berikutnya karena terkait rekaman trend dan catatan transaksi saham. Pesatnya peningkatan kebutuhan informasi digital tentu diperkirakan angka-angka fantastis di atas terus bertambah, sedangkan peningkatan teknologi hardware yang memiliki trend menuju teknologi low voltage yang lebih hemat daya, tidak dapat mengimbangi pertambahan kebutuhan energi dan pertumbuhan informasi digital. Explorasi riset di energi alternatif juga masih menghadapi pasang surut, dimana perdagangan dan gejolak minyak di timur tengah masih menjadi tolok ukur harga energi dunia. Fakta ini tentu mengkhawatirkan, namun berjalan mundur dan mematikan informasi digital tentu juga bukan pilihan yang tepat. Hampir semua sendi kebutuhan informasi, ekonomi dan perdagangan, edukasi, komunikasi, politik, sosial (media), dsb bergantung pada sistem digital. Internet banking misalkan, jutaan transaksi setiap hari berlalu lalang di data center perbankan yang bernilai ratusan milyar tentu tak mungkin ditutup hanya karena alasan penghematan energi untuk data center. Sedangkan di dunia jasa internet, target 100% lifetime selalu menjadi misi setiap provider. Bagaimana dengan cloud computing,yang ditawarkan sebagai salah satu solusi menahan laju krisis energi untuk keperluan digital. Propaganda "tak perlu" hardisk menjadi kampanye yang cukup menawan, namun tetap saja cloud juga memerlukan kapasitas penyimpanan hanya berpindah dari devais user ke (lagi-lagi) data center.

Berita lain tak kalah mengejutkan adalah matinya versi cetak Newsweek Magazine setelah 80 tahun menjadi salah satu majalah terdepan di dunia, terlibasnya bisnis mereka oleh dunia informasi digital, memaksa mereka menggulung percetakannya. Tentunya ini salah satu bentuk revolusi dunia pemberitaan menuju dunia online. Di satu sisi tersedianya media digital yang sering dikampanyekan pula sebagai gerakan paperless sebagai gerakan peduli lingkungan, mungkin berdampak positif, namun dibalik itu pula kebutuhan energi untuk data center tentu juga meningkat. Lalu apa dan bagaimana yang harus kita lakukan sebagai insan yang sudah malang melintang di dunia digital. Tentunya yang paling penting adalah kesadaran merubah perilaku dunia maya kita menjadi lebih efektif dan bermanfaat. Misalkan update status dan sharing informasi yang berguna saja, hindari posting dan upload informasi yang kurang bermanfaat. Apabila masing-masing user setiap hari bisa memangkas postingan kurang bermanfaat baik di facebook, twitter atau blog, dan lain sebagainya, penghematan space di server tentu akan signifikan. Hapus pula akun-akun media sosial yang sudah tidak aktif anda gunakan. Misal friendster jaman remaja dan sudah sama sekali tidak digunakan dapat dipertimbangkan untuk dinonaktifkan. Unsubscribe mailing list group yang kurang bermanfaat, sebelum sosial media booming, komunikasi group biasanya berjalan melalui mailing list, jika sudah tidak pernah update, anda bisa pertimbangkan untuk unsubscribe. Karena setiap klik mouse dan sentuhan jari anda di touchscreen adalah akumulasi dari ini semua, saatnya kita menggunakan internet dan informasi di era digital dengan lebih bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline