Lihat ke Halaman Asli

Brilian Ghol Jiddan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Stereotip Terhadap Dialek Ngapak

Diperbarui: 2 Januari 2023   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pesisir utara Pulau Jawa membentang luas dari ujung barat hingga ujung timur. Tegal menjadi satu bagian dari panjangnya pantai utara Pulau Jawa. Mempunyai dialek ngapak menjadi keunikan tersendiri bagi Tegal. 

Jargon "ora ngapak ora kepenak" menjadi satu bukti dari eratnya dialek ngapak dengan kehidupan masyarakat sekitar. Kata "nyong" yang memiliki makna 'saya' menjadi satu dari banyaknya kata ngapak yang terkenal seantero negeri. Namun tak jarang kemunculan dialek ngapak hanya dijadikan lelucon oleh sebagian kalangan.

Eksistensi dialek ngapak masih terjaga hingga kini, masyarakat yang tinggal di lingkungan ngapak masih menggunakan dialek tersebut. Namun, hal yang berbeda terjadi pada masyarakat ngapak yang tinggal diluar daerahnya, stereotip terhadap dialek ngapak menjadi bayang bagi mereka. Dialek ngapak acapkali dinilai sebagai lelucon semata. 

Penekanan vokal yang berbeda serta ada pengucapan huruf yang tebal menjadi salah satu alasan dialek ngapak menjadi bahan lelucon. Dialek ngapak sudah menjadi ciri khas yang sangat kuat, hal ini tentunya harus dijaga agar eksistensinya tidak hilang dimakan waktu. 

Lelucon terhadap dialek ngapak terjadi karena banyak orang yang jarang mendengar dialek ngapak dan mengangapnya suatu hal yang lucu. Keunikan dari dialek ngapak ini yang harus dijaga agar dialek ngapak akan tetap ada.

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar banyak didiami pelajar atau mahasiswa dari berbagai daerah. Tentunya hal ini dapat dimanfaatkan untuk memupuk nilai toleransi disana. 

Hidup berdampingan tanpa memperdulikan minoritas atau mayoritas yang terjadi. Meski terkadang hidup penuh toleransi dan damai hanya menjadi angan semata. 

Gejolak pasti tetap terjadi didalamnya, di Kota Pelajar ini saja banyak permasalahan yang muncul karenanya. Perbedaan bahasa atau bahkan dialek dapat menjadi sumbu lelucon yang berujung pada perundungan. Dialek ngapak terkadang menjadi korban lelucon dari mereka yang tidak mendengarnya.

Kerap kali mahasiswa yang berdialek ngapak menjadi bahan lelucon ketika berada di perantauan. Lelucon bukan karena bentuk fisik yang berbeda, melainkan dialek yang diucapkan terkesan unik menurut mereka. Saat ini dialek ngapak mulai mengalami pergeseran. 

Salah satu faktor adanya pergeseran tersebut adalah adanya stereotip terhadap dialek ngapak, menurut hasil penelitian (Susmono 2006 dalam Khotimah, 2017) diperoleh kesimpulan bahwa mahasiswa Cilacap yang merupakan salah satu kelompok masyarakat penutur dialek ngapak di Yogyakarta secara psikologis merasa terganggu dengan stereotip bahasa dan budaya ngapak yang dianggap marjinal sehingga mereka enggan menggunakan dialek tersebut.

Mempertahankan keadaan seperti ini tentunya bukan solusi yang baik, perlu perubahan yang harus segera dilakukan. Dialek ngapak termasuk kebudayaan yang harus dipertahankan dan tentunya dilestarikan, bukan malah menjadi lelucon atau bahkan terjadi perundungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline