Lihat ke Halaman Asli

Wiraswasta: Masyarakat Kelas Kedua

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya masih ingat...dulu ! Ketika masih kecil, kelas satu SD, waktu itu kedua orang tua saya menanyakan apa cita-cita saya, dengan mantap saya bilang : ingin menjadi guru. Kedua orang tua tersenyum. Well ! Mungkin mereka pikir, tidak terlalu jelek seorang anak menjadi guru. Walaupun gajinya kecil namun memiliki strata sosial mulia di dalam masyarakat. Saya pun tumbuh dewasa, cita-cita yang semula menjadi guru lama-lama memudar berganti menjadi wanita karier. Saya ingat betul hal yang menjadi penyebabnya.  Kakak perempuan saya berlangganan majalah gaya hidup wanita metropolitan, saya suka curi-curi membacanya. Dalam pola pikir ABG saya tertanam wanita-wanita berblazer rapi, berkacamata, duduk di belakang meja komputer serta berkantor di gedung puluhan lantai adalah tipikal wanita yang sukses. Dan kata "meeting" "klien" "kolega" laksana rima dalam puisi, bagus sekali. Sejak saat itu, saya tetapkan cita-cita saya berubah menjadi wanita karir. Menjadi "Mbak-Mbak" kantoran.

Tidak ada sebersit keinginan pun menjadi pengusaha, atau wiraswasta atau pedagang atau pemilik usaha A atau pemilik usaha B , atau apapun sebutannya yang sejenis. Rasanya itu tidak terjadi pada diri saya saja, namun pada anak-anak sebaya yang lainnya. Cita - cita kami jamak, guru, dokter, pegawai, pegawai kopri (PNS maksudnya), dan sejenisnya. Sampai saya dewasapun, sampai saya lulus S1. Pola pikir sarjana yang saya dapat, tetap saja tidak merubah perilaku, untuk tetap melamar pekerjaan kantoran, kantor ini, bank itu, PT ini, CV itu, begitulah ! Hasilnya saya pun menjadi pegawai kantoran (saat itu) dengan siklus hidup absen pagi pukul delapan, ngetik ini, ngetik itu, meeting ini, meeting itu, telepon klien sana, telepon klien sini, makan siang dengan kolega A dan kolega B, untuk kemudian semua aktivitas berakhir pukul 5 sore. Yup ! Kata-kata yang dulu merdu saat itu kedengaran basi, karena berkonotasi dengan hal yang membosankan, lelah dan rutinitas hidup.

Kenapa ya..jarang sekali seorang anak memiliki cita-cita menjadi pengusaha/wiraswasta ? Bahkan, saya sekalipun yang memiliki ibu seorang wiraswasta tidak tergerak hatinya untuk mengikuti jejak beliau. Padahal, contoh nyatanya sudah ada di depan mata. Ibu saya tidak perlu bangun pagi terburu-buru karena harus masuk kerja sekaligus menyiapkan anak-anaknya, karena toh jadwal kerja beliau sendiri yang mengaturnya. Tidak perlu minta ijin ke atasan kalau ada urusan penting, karena toh beliau tidak memiliki bos. Kalau salah satu anaknya sakit dengan enaknya beliau tidak masuk kerja, karena toh beliau sendiri yang memperhitungkan untung ruginya. Tahu tidak..? Dalam pikiran saya kecil waktu itu, pekerjaan ibu saya tidak bergengsi (ups..!) karena beliau kerja dengan baju santai dan duduk diantara tumpukan barang-barang dagangan bukan berblazer apalagi di belakang komputer.

Kalau alasanya modal. Menjadi pengusaha perlu modal besar. Rasanya semua pekerjaan begitu bukan? Coba..! Berapa kita harus bayar "oknum" ketika ingin menjadi PNS, sepupu saya rela menjual tanah seharga Rp.300 juta untuk menggolkan ia menjadi pegawai dinas A. Atau berapa "modal" kuliah kedokteran (belum spesialis ya) di PTN? Tidak kurang ratusan juta rupiah uang yang keluar bukan? Dan nominal itu terus bertambah menjadi berlipat-lipat ketika meneruskan spesialis. Atau takut bangkrut? Rasanya tidak ada yang menjamin hidup kita di dunia ini kecuali kita sendiri dan Tuhan tentunya. Kakak sepupu saya di PHK karena bank-nya tempat bekerja dimarger dengan bank-bank lain, padahal itu bank ber-plat merah. Atau Om saya di pensiun dini karena company tempatnya bekerja ganti kepemilikan, padahal itu oil company yang menggurita. Ya..! Ini sih hanya contoh kecil saja, yang ada di sekitar saya, tapi rasanya cukup menjelaskan bahwa keadaannya tidak jauh beda dengan menjadi wiraswasta.

Dan ketika akhirnya saya "terjerumus" dalam predikat ini, awalnya juga karena tidak ada pilihan lain. Saya ingin bekerja dan aktif di luar urusan domestik keluarga namun juga tidak mau meninggalkan anak dari pagi hingga petang, saya mau jam kerja yang "semau gue", saya juga mau penghasilan yang besar..Oh ! Betapa saya banyak sekali maunya. Satu-satunya pilihan adalah menjadi wiraswasta. Saya katakan ternyata tidak gampang, perlu strategi dan keuletan luar biasa. Mesti tahan banting terhadap "oknum" yang menjadikan pengusaha seperti sapi perah, mesti ulet terhadap naik turunnya pasar, harus jitu mengatur strategi biar tidak rugi, dan mesti berlapang dada dan tersenyum sabar menghadapi komentar " Ya...ampun..! Susah-susah kuliah cuma buka toko" Ho..ho..ho ! So what gitu lho ? Lengkap bukan daftar yang menunjukkan kalau wiraswasta adalah masyarakat kelas kedua, dibawah pegawai dan profesional lainnya. Namun, saya tidak mau kembali lagi menjadi "ibu-ibu (karena sekarang sudah punya anak) kantoran lagi" biarlah saya tetap menjadi masyarakat kelas kedua, dengan alasan waktu untuk keluarga dan tentu saja....Uang yang didapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline