Lihat ke Halaman Asli

Briantama Afiq Ashari

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Eskalasi di Natuna: Mengapa Indonesia Harus Beralih dari Sikap Netral? Apa Strateginya?

Diperbarui: 31 Mei 2024   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi LM. Syuhada Ridzky, Kendari Pos

Berdasarkan kaidah hukum maritim internasional, ZEE Indonesia mempunyai potensi menghasilkan sumber daya hayati laut yang bermanfaat secara ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat dan hak kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan. Tiongkok sering menggunakan berbagai taktik koersif (pemaksaan) untuk memperkuat klaim teritorialnya. Aktivitas tersebut, seperti masuknya kapal nelayan Tiongkok ke Laut Natuna Utara untuk melakukan penangkapan ikan ilegal yang dilarang oleh undang-undang, bahkan seringkali melanggar kedaulatan Indonesia.

Kapal Penjaga Pantai (coast guard) Tiongkok juga ada di sana, selain kapal penangkap ikan. Hal tersebut adalah contoh penerapan strategi zona abu-abu di Tiongkok dalam memperluas pengaruh di Laut Cina Selatan. Strategi di balik taktik wilayah abu-abu adalah untuk memobilisasi kekuatan nasional untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa menggunakan kekuatan terang-terangan yang dapat memicu konflik internasional. Dengan kata lain, Tiongkok berusaha menghindari penggunaan kekuatan militer untuk mencegah pembalasan atau perang terbuka, dan lebih memilih untuk menegakkan klaim teritorial maritimnya dengan kekuatan minimal.

Indonesia, sebagai negara Asia Tenggara yang bersahabat dengan negara-negara yang mengklaim sebagian Laut Cina Selatan, menjaga posisi netral dan tidak terlibat dalam sengketa tersebut. Hal ini bertujuan untuk membina kerja sama bilateral dan multilateral dengan semua pihak. 

Mengingat hal ini, pendekatan Indonesia dalam memediasi konflik adalah dengan bertindak sebagai perantara yang tidak memihak. Ada dorongan untuk memanfaatkan peran mediasi taktis Indonesia. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk mengadvokasi lembaga-lembaga perdamaian dan penyelesaian konflik ASEAN, termasuk TAC, DoC, dan CoC, yang saat ini sedang dalam tahap rancangan.

Namun, sikap Indonesia telah berubah seiring berjalannya waktu. Pengawasan TNI dan Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa Tiongkok mulai melakukan tindakan yang lebih berisiko di perairan sekitar Natuna. Misalnya, kapal penangkap ikan Tiongkok secara ilegal menangkap ikan di ZEE Natuna pada tahun 2019. Sebagai akibat dari klaim Tiongkok yang terus berlanjut atas Laut Cina Selatan dan pelanggaran kedaulatan, Indonesia secara bertahap beralih dari sikap netral menjadi semakin waspada. 

Untuk mengakhiri pelanggaran yang terus-menerus dilakukan Tiongkok di Natuna, pemerintah Indonesia telah menerapkan strategi hukum jangka panjang. Wilayah laut Natuna di Laut Cina Selatan telah berganti nama menjadi Laut Natuna Utara, dan sebutan baru ini berkaitan dengan wilayah yang diakui Indonesia. Presiden Jokowi melakukan dua kunjungan ke wilayah tersebut pada tahun 2016 dan 2020 untuk memperkuat batas-batas di Laut Natuna Utara.

Mudahnya nelayan Tiongkok mengakses wilayah ini dan menangkap ikan secara ilegal merupakan tanda lemahnya pemerintah Indonesia dalam mengelola wilayah tersebut untuk melindungi kedaulatan. Kenyataannya, keamanan nasional Indonesia bergantung pada Laut Natuna Utara. 

Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang erat antara seluruh pemangku kepentingan untuk pengelolaan dan pemantauan yang berlapis-lapis. Untuk menegaskan kembali kewibawaan serta keutuhan wilayah perairan Indonesia sesuai dengan hukum internasional, perlu dilakukan strategi antisipatif yang komprehensif dan terkoordinasi agar tidak terjadi pelanggaran.

Strategi Pencegahan yang Dapat Dilakukan oleh Indonesia

Tiongkok menyadari supremasi militernya dibandingkan pesaing lainnya. Namun, mereka ragu untuk memulai konflik karena dampak finansial dan diplomatik. Oleh karena itu, Tiongkok melancarkan strategi khusus dalam hal konflik kepentingan ini. Ada dua alternatif yang tersedia bagi Indonesia, melalui instrumen ASEAN atau merespons secara simetris.

Indonesia dapat menerapkan kewaspadaan yang masuk akal dengan memilih pendekatan pencegahan, khususnya terkait dengan alternatif pertama. Hal ini dibenarkan oleh kekuatan negosiasi Tiongkok yang besar, kepentingan nasionalnya, dan kemungkinan negara-negara sasaran menyerah jika kebijakannya tetap sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline