Dengan merebaknya media elektronik dan media sosial, masyarakat kita sekarang ini mempunyai budaya literasi yang luar biasa. Hampir dipastikan semua orang setiap hari melakukan aktivitas literasi, baik melalui platform blog semisal Kompasiana atau media sosial lainnya seperti Twitter, WhattsApp, Facebook, Intagram, dan masih banyak lagi yang lain. Siapa pun bisa membaca dan menulis tentang apa saja dan dengan cara bagaimana saja.
Namun sayangnya, kemudahan tersebut tidak mengindahkan etika pemberitaan. Alhasil, pembaca hampir-hampir tidak bisa lagi membedakan mana kategori tulisan atau bacaan yang berisi informasi yang benar dan mana yang hoax atau berita bohong.
Saya sendiri mengakui bahwa hoax menjadi lebih menarik untuk dibaca karena sifatnya yang kontroversial, dan dengan sengaja dibuat dramatis untuk mengocok emosi si pembaca. Dan memang untuk tujuan itulah ia dibuat, biar bisa digoreng, di gosok biar makin siiiiipp. Entah untuk tujuan apa. Hanya si penulis dan Tuhan yang tau.
Menyikapi hal ini, saya ingin mengajak para Kompasianer dan Pembaca setia K untuk membudayakan literasi baca tulis.
Mari sadari hal ini: Kekuatan berita hoaks sebenarnya tergantung dari pembacanya itu sendiri. Terkadang seseorang membagikan berita hoaks karena melihat judulnya yang kontroversial tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Akhirnya, berita hoaks tersebut berhasil menjadi trending topik karena dibahas di berbagai daerah meskipun kebenarannya masih diragukan. Oleh karena itu perlu ketahanan informasi dari setiap individu dalam menerima berita-berita yang beredar di media sosial. Dikutip dari laman kominfo.go.id tentang "sikapi hoaks dengan bijak."
Apabila Anda ingin menginformasikan sesuatu, pastikan bahwa Anda punya waktu yang cukup untuk memahami sebuah persoalan, dan telah melakukan praktik keilmuan. Apa sebab? Karena dengan banyak praktik di lapangan seseorang akan mengetahui valid atau absahnya sebuah informasi.
Kemudian, jangan sampai informasi yang disampaikan ternyata tidak relevan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada kondisi terkini. Hal ini juga perlu untuk diperhatikan.
Dan karena menulis dalam segala bentuknya bukanlah sebuah perkara yang main-main, ada pendapat mengatakan bahwa menulis itu harus memiliki batas minimal usia. Sebab, sekali menulis, tulisan seseorang akan dibaca oleh orang senegara bahkan sedunia, serta menjadi jejak digital yang bisa ditelusuri oleh setiap orang. Mengenai hal teknis seperti ini masing-masing orang punya argumentasi masing-masing. It's Ok. Itu sah.
Namun pada prinsipnya, kriteria tulisan yang baik dan bermanfaat adalah yang bisa mengungkapkan rahasia suatu permasalahan, menjelaskan kebenaran dan meruntutkan logika. Sebuah tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi mana pun.
Sedangkan kebalikan dari semua itu adalah tulisan yang tidak bermanfaat bahkan merugikan, yaitu model tulisan yang 'kutip sana kutip sini', 'tempel sana tempel sini', 'share sana share sini' atau 'copy paste tanpa verifikasi, konfirmasi maupun keruntutan logika berpikir.'