Lihat ke Halaman Asli

Mariani

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melirik jam tanganku. Pukul tujuh pagi. Jalanan di Jakarta sepagi ini sudah macet. Aku tak habis pikir, apa orang-orang menikmati kemacetan yang saban pagi mereka rasakan?. Kalau tidak menikmati, mengapa masih betah di kota ini?. Kalau iya, sungguh salut pada mereka. Bak berjalan di lorong sempit, maju tak bisa mundur kena tabrak. Napas kehidupan seolah berpacu dengan hentakan detik waktu. Siapa cepat dia dapat.

Ku nikmati perjalanan ini, toh janji dengan penerbitnya adalah jam sembilan. Dua jam waktu yang kusediakan pasti cukup, batinku. Tiba-tiba, ekor mataku menangkap sesosok perempuan yang sepertinya ku kenal. Aku mencoba mengingat di mana mengenalnya. Lupa tapi yakin kalau aku mengenalnya. Ku pelan kan laju ku dan mencoba mencari sosok tadi. Aku yakin dia telah di dalam bus yang tepat berada di depanku.

Ya tak salah lagi, pasti dia. Cepat-cepat kususul dari belakang. Mataku yang tajam mengawasi setiap deretan bangku nya yang berisi penuh sesak. Aku tak menemukannya. Mungkin dia berada diantara penumpang yang berdiri, atau dia berada di barisan sebelah kiri?. Penasaran, aku mencoba dari sebelah kiri, tidak ada.

Pasti dia. Bukankan dia ada di kampung?, sudah puluhan tahun aku tak melihatnya, malah lebih.

* * *

Bunyi lonceng pun berdentang beberapa kali, tanda masuk kelas tepat pukul 07.00. Pak Pardosi selalu tepat waktu dan tak pernah lalai menjalankan tugasnya. Sejenak dia bersandar di tiang gantungan lonceng itu, menikmati sisa rokok di jari kirinya seraya tersenyum kepada semua siswa yang berjalan melewatinya. Wajah tuanya selalu memancarkan semangat.

Kami sudah berbaris rapi, dan berjalan beriringan. Aku beradu pandang dengannya. Dia tersenyum. Entah lah, aku tak bisa mengartikan senyumnya. Aku teringat kejadian kemarin. Rasa ngantuk yang sangat kuat membutakan akal sehat ku. Nekat, aku berjalan ke arah Pak Buaton,-guru matematika- yang sedang asyik menjelaskan Himpunan Penyelesaiannya, minta ijin ke Toilet. Sebelumnya, aku sudah mengedipkan mataku pada ketiga temanku untuk segera mengikutiku.

Bukannya ke Toilet, tapi membelok ke pekarangan belakang. Dengan cekatan, tanganku meraih pelepah pisang dan daun talas dijadikan tikar. Ya, berempat kami main kiu-kiu hingga pelajaran matematika selesai. Toh, sehabis matematika ada pelajaran Olahraga, dan biarlah hukuman di setrap besok akan ketahuan.

Malangnya, rupanya Pak Pardosi memergoki ulah kami berempat. Mengiba dengan gemetar, kami minta ampun dan berjanji tak akan mengulangi. Uang taruhan dan kartu domino diambilnya dan menasihati kami. Walau dia berjanji tak akan melaporkan ke guru, kami tetap was-was bila beliau membocorkannya.

Mungkin itu arti senyumannya pagi ini.

Pak Naga Hitam, begitulah kami para murid-muridnya menyapanya, memulai pelajarannya dengan mengatakan "gud moning". Dia mulai menulis di papan tulis dengan "This is the table,.. ", lalu kami mengulanginya dengan suara yang kuat. "Disis e tebel".

Di kotaku, ada kebiasaan unik. Hanya karena sifat pisik seseorang, maka secara otomatis itu menjadi sebutan ataupun gelarnya. Tak heran ada yang namanya Sinaga Hitam, karena punya kulit hitam, lalu Sinaga Putih, Simeha Namatua, Simeha Naposo, Sipurba Pajjang, dll
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline