Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Polisi Harus Diadu Dengan Mahasiswa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

APBN Perubahan tahun 2013 telah disetujui oleh DPR dengan mekanisme voting setelah lobi-lobi politik gagal menyatukan persepsi tentang kenaikan harga BBM bersubsidi dan alokasi anggaran untuk program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Namun korban terlanjur berjatuhan akibat demonstrasi mahasiswa di berbagai penjuru tanah air yang bentrok dengan polisi. Polisi sebagai alat negara sedang berposisi sebagai lawan dari mahasiswa yang sedang memperjuangkan suara rakyat yang akan semakin menderita jika harga BBM dinaikan karena melonjaknya harga-harga kebutuhan hidup.

Apakah polisi setuju dengan kenaikan harga BBM sehingga harus berhadapan dengan mahasiswa? Polisi juga manusia, polisi juga bagian rakyat Indonesia yang tentu akan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM bagi keluarganya . Adanya fenomena kasus bunuh diri anggota kepolisian akibat himpitan ekonomi sangat memprihatinkan kita. Jangan sampai kenaikan harga BBM yang melambungkan harga kebutuhan pokok menyebabkan kasus bunuh diri anggota kepolisian semakin meningkat dan anggota polisi melakukan bisnis ilegal demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya semakin marak.

Memang pemerintah akan menaikan gaji polisi sekitar 7% tahun 2013 ini, tetapi kenaikan tersebut tidak akan memperbaiki kondisi ekonomi anggota polisi kalau inflasi akan naik 7,2% akibat kenaikan harga BBM. Polisi terutama yang berpangkat rendah akan tetap kebingungan memenuhi kehidupan keluarganya. Tentu dengan kondisi ekonomi yang sulit di tengah tekanan tugas yang semakin berat dan sulit, tingkat stres polisi menjadi tinggi. Makian, provokasi, dan tantangan dari mahasiswa dalam demonstrasi sering menjadi sebab tersulutnya emosi polisi dalam penanganan demonstrasi. Sekali lagi, polisi juga manusia.

Lalu, mengapa polisi harus diadu dengan mahasiswa? Kita tengok kejadian kemarin Senin (17/06/2013) saat Sidang Paripurna DPR untuk mengambil keputusan APBN Perubahan 2013. Di dalam gedung, para wakil rakyat sedang beradu argumentasi soal APBN Perubahan dalam suasana yang megah. Di dalam gedung yang megah, pakaian formal yang mewah, suguhan makanan yang cukup, dan kicauan-kicauan sampah yang terus mengalir sepanjang sidang yang terhormat. Seperti sudah diprediksi APBN Perubahan 2013 akan disetujui DPR karena kuatnya partai koalisi penyokong pemerintah.

Sementara di luar gedung, para pengunjuk rasa dan polisi sedang beradu otot ditengah gerimis yang membuat mereka basah kuyup. Saya tidak tahu, ada suplai makanan dan minuman untuk para pengunjuk rasa atau tidak. Kalau para polisi pasti ada ransum meski hanya nasi bungkus dan air minum gelas. Mereka tidak berhadapan di dalam gedung ber-AC tetapi di jalanan terbuka, pintu gerbang gedung DPR. Risiko sedang mereka ambil. Mungkin luka, berdarah-darah, atau bahkan harus meregang nyawa sedang mereka pertaruhkan.

Kejadian diatas membuktikan, di tengah iklim demokrasi tetapi nyatanya saluran aspirasi masih tersumbat. Benarkah kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi adalah suara rakyat kebanyakan? Saya yakin tidak. Maka demonstrasi menjadi pilihan ketika aspirasi tidak tersalur dengan baik. Hal tersebut menjadi bukti bahwa partai politik bukan menjadi saluran aspirasi yang dapat diandalkan. Ada jurang antara aspirasi publik dengan sikap partai politik. Partai politik punya agenda politiknya sendiri di luar kepentingan masyarakat.

Konstituen menjadi penting saat hajat lima tahunan yaitu Pemilu untuk direbut suaranya, tetapi sesudah itu konstituen seperti hanya menjadi alat politik para anggota DPR untuk memuluskan agenda politik partai politik pengusungnya. Pernahkah anggota DPR bertanya langsung kepada konstituennya tentang kenaikan harga BBM? Saya yakin tidak. Mereka lebih mewakili kepentingan partai politiknya dibanding suara konstituennya. Padahal setiap tahunnya anggota DPR mendapat dana Rp 420 juta per anggota DPR sebagai dana reses untuk bertemu konstituennya, tentu guna menyerap aspirasi konstituennya. Apakah dana tersebut sudah dipertanggungjawabkan dengan benar-benar menyerap aspirasi masyarakat? Buktinya tidak.

Kalau saluran-saluran aspirasi benar-benar menjadi saluran aspirasi yang efektif maka demonstrasi yang berdarah-darah dapat dihindari. Dan jikalau anggota DPR sebenar-benarnya adalah wakil rakyat dan partai politik sebenar-benarnya adalah pengejawantahan kepentingan rakyat maka tidak perlu lagi mengadu polisi dengan mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline